herianjhonlembu. Diberdayakan oleh Blogger.

ShoutMix chat widget

pusTaKa_koe



Cari di Paman GoggLe

Kamis, 04 November 2010

ayah sang pejuang


 Herian Jhon Lembu
Hujan deras disertai dengan petir yang menyambar dan memecah kesunyian malam. Waktu itu aku tidur lebih awal dari biasanya, di karenakan hujan yang sangat deras di tambah dengan padamnya aliran listrik di desaku. Tiba-tiba aku terbangun, karena terdengar suara ketukan dari pintu depan.
            “Man….Man……” suara itu semakin keras terdengar, hingga aku datang dan menghampirinya. Setengah terkejut, ketika kubuka pintu itu ternyata Ayah sedang membawa parang ditangan kanannya dan topi jerami di tangan kirinya,
            “Ayah dari mana, basah kuyup begini” tanyaku sambil meminta parang dan topinya.
            “Dari sawah, takut tanaman kena banjir” jawabnya sambil mengigil
            “Kenapa tidak mengajak aku yah”
            “Kamu tadi udah tidur, udah sekarang ambilkan Ayah handuk” katanya sambil menuju ke dapur.
Aku pergi menuju ke kamar Ayah dan mengambilkan handuk yang ia minta. Rasa ngantuk itu timbul kembali, walaupun tangan dan kakiku telah menyentuh air ketika mengambil parang dan topi jerami ayah. Aku kembali menuju kamar, yang banyak ku tempel stiker pemain bola. Hampir semua ruang di kamar itu penuh dengan stiker pemain bola dunia. Hanya satu poster sebuah motor besar berwarna hitam yang ku tempel tepat di depan tempat tidurku. Bukan tidak beralasan kenapa stiker motor besar itu ku tempel di situ. Ketika hendak memejamkan mata, gambar motor itulah yang mengantarku tidur, sambil berkhayal suatu saat aku dapat memilikinya dan berkeliling kota bersama ayah. Mimpi itu hampir setiap malam terwujud jika aku tidur. Tapi dalam kenyataan melihat sosok motor itu saja aku tak pernah.
            Suara ayam berkokok dari arah dapur rumahku, namun badan ini terasa malas untuk berpindah. Seperti biasa Ayah mengetuk pintu kamar dan memangilku
            “Man udah pagi, ayo bangun kamu pasti belum sholat Subuh kan?” teriak Ayah dari ruang tengah
            “Iya…” jawab ku singkat.
Aku keluar menuju dapur, drum dan ember semuanya penuh air hujan yang turun semalam. Ku basuhkan wajahku denganair yangsejuk itu. Berwudhu dan lekas kembali ke kamar. Ayah sudah sibuk memasak air dan menuggunya sambil duduk disebuah kursi yang tua, yang masih tampak kokoh. Aku tak tau berapa umur kursi itu, dari modelnya, mungkin itu peninggalan zaman Belanda yang kemudian diwariskan oleh Kakek kepada Ayah.
            Aku mulai bersiap untuk sholat Subuh.
            “Allahhuakbar”
            “Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh”.
Selesai sudah kewajibanku sebagai seorang muslim menunaikan sholat Subuh. Masih duduk bersila dan memegang tasbih di tangan kananku. Tanpa sadar terdengar suara batuk Ayahku yang begitu serak. Tapi baru kali ini aku mendengar suara batuk Ayah. Aku tidak tahu penyakit apa yang di derita Ayah. Tiba-tiba, terlintas sosok Ibu yang pernah melahirkan ku. Ingin sekali rasanya memeluknya dan memangilnya dengan
            “Ibu…”.
Air mata ini jatuh membasahi kedua pipiku, disertai dengan ingus yang mulai meleleh dari hidung. Sosok Ibu kini telah tiada, sejak aku mulai masuk kelas tiga SMP. Ia pergi bersama dengan anak yang masih di kandungnya. Aku tidak tahu calon adikku itu laki-laki atau perempuan, karena waktu Ibu masih hidup ia tidak pernah menayakan jenis kelamin kepada dokter. Biasanya jika ingin melihat jenis kelamin anaknya seseorang harus mengunakan sarana  USG (Ultra Sono Grafi). Tapi biayanya pasti mahal, mungkin alasan tersebut pula yang membuat Ibuku enggan mengetahui jenis kelamin janin yang ia kandung.
Malam itu kira-kira pukul 03.00 pagi, terdengar suara gaduh dari dalam kamar Ayah dan Ibu. Asma Ibu kambuh, penyakit yang selama ini ia derita. Namun kali ini tidak seperti biasanya, sepertinya lebih parah. Oleh Ayah dan bantuan beberapa tetangga Ibu dibawa ke rumah sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit itulah Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Ia pergi bersama calon adikku dan jika sempat di lahirkan tentu aku dapat melihat senyum manisnya. Aku kacau bagai orang yang kahilangan akal sehat. Selepas almarhum Ibu di kebumikan. Penderitaan batin ini semakin bertambah. Tiga minggu aku tak pernah ke Sekolah. Aku hanya diam di kamar dan melihat wajah Ibu dalam potret. Dalam tangisku aku berkata dalam hati
            “Jika engkau mengizinkan aku Tuhan, ambilah nyawaku agar aku bisa ikut Ibu dan Adik” sambil meluapkan sedih itu dengan air mata.
Bukan hanya aku saja yang terpukul atas kepergian Ibu. Ayah pasti lebih terpukul namun ia dapat lebih tegar menghadapi kenyataan ini. Kini aku hidup bersama Ayah dalam rumah yang dulunya pernah terlihat senyum dan tawa Ibuku tercinta.
            “Man udah siang, kamu tidur lagi ya, gak ke Sekolah?” ujar Ayah
            “Aku gak tidur kok Yah, Hari ini libur Guru semuanya Penataran ke Kota” jawabku sambil menyeka air mata.
            “Libur ya.. kebetulan ikut Ayah ke sawah ya!” kata Ayah sambil membuka pintu kamarku.
            “Iya Yah!”
            “Cepat rapikan kamarmu dan lekas kedapur ada teh panas dan ubi rebus” tambah Ayah sambil meninggalkan Aku.
            “Kok ubi rebus Yah?”.
            “Ayah gak bisa buat nasi goreng seperti Ibumu” jawab Ayah dengan suara lembut
Ketika Ayah mengucapkan kata itu aku sedih dan merasa bersalah. Namun aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu dan bergegas menuju kedapur. Ku ambil teh dan sepotong ubi rebus yang masih mengeluarkan asap. Ayah terlihat sibuk dengan sepeda motor bututnya. Motor itulah yang menemaninya untuk pergi ke ladang setiap saat.  Sementara Aku masih duduk dan menikmati teh panas. Tiba-tiba Ayah datang dan menghampiriku kemudian berkata:
            Man……Ibu memang sudah tiada, ia pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Namun ia pasti bisa melihat kehidupan kita sekarang, yang penuh dengan rasa sepi tanpa kehadiranya di antara kita. Man dulu Ibu pernah bilang “Yah kalau kita bisa membesarkan anak-anak kita hingga tumbuh dewasa dan mempunyai pendidikan yang tinggi serta punya pekerjaan yang layak, Ibu pasti akan bahagia” namun Ibu lebih dulu pergi meniggalkan kita bersama adikmu sebelum melihat kalian sukses”.
            Mata Ayah berkaca-kaca, ia memalingkan mukanya dan berbalik arah menuju  kamar. Aku tahu Ayah pasti menagis, namun ia tidak mau jika aku melihat ia  menagis, ia tidak mau di katakan orang tua yang cenggeng. Aku beranjak dari tempat dudukku, dan menghampiri si Tom. Kucing kesayangan Ibu dan aku, jika si Tom dapat bicara mungkin ia juga akan berkata “Aku ingin melihat Ibu membuatkan makananku lagi”. Waktu Ibu masih ada, si Tom selalu menemaninya di dapur saat Ibu  sedang memasak. Tak jarang ia di telinganya jentik oleh Ibu karena mengambil ikan yang Ibu goreng. Ketika ku berikan nasi yang telah di campur ikan asin ia hanya mengeong dan pergi meniggalkan aku. Heran dalam hatiku kenapa ia seperti itu, pada hal nasi dan ikan asin adalah makanan favoritnya setelah ikan goreng. Apakah ia sakit atau sedang tidak nafsu makan. Bingung karena ulah si Tom yang tidak mau makan, lantas aku pergi meniggalkan nasi itu dan berharap si Tom kembali dan memakanya.
            “Sudah siap Man?” Tanya Ayah.
            “Iya pak, ayo berangkat” jawabku sembari berlari menuju ke luar.
Suara motor ayah memecah sunyi di sekitar rumah ku, yang jauh dari rumah lainya. Kami berangkat menyusuri jalan berbatu yang licin karena semalam tersiram air hujan. Sekitar 15 menit menyusuri jalan akhirnya kami sampi di sawah. Sebuah gubuk kecil beratapkan daun ilalang yang di anyam dengan rapi menjadi pemandangan yang menarik ketika melihat hamparan sawah yang luas nan hijau. Parang kusiapkan untuk mencari kayu belingir[1]. Kayu tersebut akan digunakan untuk membuat sangahan segkedan sawah yang longsor terkena hujan semalam. Dengan kuat Ayah menacapkan batang demi batang kayu belingir ke tanah. Ototnya kuat karena terbiasa kerja keras sejak kecil. Tanganya kasar bahkan lebih kasar dari amplas. Dengan tangan kasarnya pula aku dididik untuk menjadi orang yang tabah dalam manjalani hidup ini. Tangan yang penuh dengan kasih sayang layaknya seorang Ibu bagiku.
            Matahari kian menyegat kulit, penduduk yang juga bekerja di sawah dan lading pulang dengan membawa sekarung rumput segar di kepalanya. Banyak dari mereka yang memelihara sapi, sehingga harus mencarikan makanan buat sapi mereka. Dulu kami mempunyai 4 ekor sapi namun, di jual oleh Ayah. Uang penjualan sapi tersebut kemudian di belikan sawah yang kini digarap oleh Ayah. Hingga kini Ayah tidak lagi memlihara Sapi. Suara cacing dalam perutku semakin menjadi-jadi. Ayah tersenyum mendengar hal itu,
            “Udah kamu istirahat cepat ke gubuk sana!” perintah Ayah sambil mengambil rumput kering untuk menutup lubang logsoran tanah.
            “Ayah gak ikut istirahat”
            “Ayah masih kuat kok, udah cepat sana, di dalam tas ada ubi rebus, coba di lihat” ungkapnya.
Aku bergegas menuju ke gubuk, karena matahari kian menyengat kulit dan rasa lapar bagaikan mengiris usus dan lambungku. Duduk tepat bersandar pada tiang gubuk, ku lepas topi jerami yang longgar dari kepalaku. Sebenarnya topi itu milik Ibu, topi itu menyimpan banyak kenagan tentangya. Ku buka tas, dan ku keluarkan semua perbekalan yang Ayah bawa. Ada sebotol air putih, sepiring ubi rebus dan sebugnkus rokok kretek Ayah. Ku nikmati ubi rebus itu dengan lahapnya. Suasana ketika makan di sawah sangat berbeda dengan suasana makan ketika dirumah. Ketika makan digubuk yang ada di sawah terasa lebih nikmat, karena angin sepoi-sepoi yang  berhembus terasa begitu menyegarkan tubuh ini, ditambah rasa lapar setelah bekerja disawah. Sambil menikmati ubi rebus ku lihat Ayah masih sibuk dengan parang dan kayu-kayunya. Panas matahari seakan tidak menyurutkan langkah dan semagatnya. Tubuhnya hitam tersengat matahari setiap saat bekerja di sawah. Hati kecilku berkata “Ayah kau adalah sosok Ayah yang sempurna, meski tanpa Ibu kau tetap sanggup merawatku. Belaian kasih sayang Ibu seakan ku rasakan kuraskan dari tangan kasarmu”.
“Yah istrahat dulu, udah siang!” teriak ku dari dalam gubuk sambil mengayunkan tangan memangil Ayah.
Ayah tetap saja sibuk dengan parangnya, dengan tidak menghirukan panggilanku. Aku hanya diam saja karena ayah tidak menghiraukan perkataanku tadi. Hampir setengah jam aku menuggu Ayah, namun Ayah tak menghentikan pekerjaanya untuk beristirahat. Ingin rasanya membantu kembali namun tubuh lemahku ini sudah tak sanggup di iringi dengan rasa malas. Aku hanya menuggu dan menuggu Ayah agar cepat beristirahat karena ku lihat jam menujukan pukul 11.30 WIB. Akhirnya Ayah datang menghampiriku dan menyuruh untuk berkemas.

************
            Sampai dirumah aku langsung mandi dan lekas menuju ke kamar. Dari dalam kamar terdengar suara seseorang mengoreng. Ku hampiri suara itu ternyata Ayah sedang mengoreng ikan gabus. Entah dari mana ikan itu ia dapatkan, aku berusaha untuk tidak bertanya. Pakaian Ayah masih basah dan sedikit lumpur sawah masih menempel di keningnya.
            “Yah, ne handuk nya, Ayah mandi saja biar aku yang mengoreng ikan ini” ujarku sambil memberikan handuk berwarna biru tua pemberian ibuku dulu.
            “Emangnya kamu bisa Ma?”.
            “Kalu cuma goreng Ikan ya bisa lah yah, asal jangan disuruh masak nasi saja”.
Dulu waktu almarhum ibuku waktu masih hidup, pernah beliau menyuruhku untuk menanak nasi, namun bukan menjadi nasi malah masakan tersebut menjadi bubur. Air yang ku masukan ke dalam panci terlalu banyak kata Ibu. Ibu juga pernah bilang jika masak nasi haruslah diukur dengan jari tengah kira-kira airnya dua garis jari tengah orang dewasa dari permukaan beras yang akan di masak.
Kembali aku teringat kepada sosok ibu, hingga ikan yang ku goreng sedikit gosong.
“Man bau apa ini” teriak Ayah dari dalam kamar mandi
Aku terkejut mendengar teriakan Ayah,
            “Gak tau Yah, mungkin tetangga sebelah sedang masak juga” jawabku sambil berusaha menghindar, karena bau tersebut berasal dari gorengan ikan yang sedang ku goreng.
            “Rumah tetangga kita kan jauh-jauh Man, mana mungkin aroma gosong tercium sampai kemari” tambahnya.
            “Angin kan sedang bertiup kencang Yah” jawabku lagi, sambil mengagkat Ikan gosong tadi dan mengantinya dengan Ikan yang baru.
            Tak kudengar lagi suara Ayah yang menayakan asal aroma gosong tersebut. Aku hanya takut Ayah marah jika ia tahu ikan yang ku goreng ternyata gosong. Sedikit binggung “Mau dibuang kemana ikan gosong ini” tanyaku dalam hati.belum sempat pertanyaan itu terjawab. Dari arah jendela, si Tom meloncat dan menghampiri ku serta mengelus-eluskan kepalanya dikakiku. Dasar jika ada orang sedang goreng Ikan saja cepat ia pulang. Kebetulan juga, kataku dalam hati. Ikan gosong tersebut ku berikan pada si Tom. Dengan semagatnya ia meraih dari tangan ku dan dengan segera bersembunyi di bawah rak piring.
            Ayah keluar dari dalam kamar mandi dan menghampiri ku.
            “Sudah selesai Man?” tanyanya.
            “Belum sedikit lagi”.
            “Kenapa ikannya tinggal 4 ekor? Mana yang satunya” kembali Ayah bertanya.
“ Ya…yang satunya Aku makan yah” Sambil sedikit gugup aku menjawab.
            “Bener kamu makan tidak kamu buang atau berikan kepada si Tom kan?”,Ayahku menyelidik.
            “Ti..dak yah,bener aku makan”.
Ayah pergi meniggalkanku. Aku tahu ayah paling benci dengan yang namanya kucing termasuk si Tom,kucing kesayangan ibu. Kursi busa yang belum lama Ayah beli telah rusak oleh cakaran-cakaran kucing. Dan masih banyak hal lagi yang membuatnya sangat membenci kucing.
            Kami makan siang berdua, dengan lahapnya Ayah makan walaupun hanya dengan lauk ikan gabus goreng serta sayur nangka pemberian tetangga kemarin. Karena sekarang lagi musim Beruwah[2] di Desaku. Sebuah ritual adat yang kemudian di kemas dalam corak Islam. Aku hanya makan sedikit saja, entah mengapa nafsu makan ku jadi sedikit berkurang akhir-akhir ini.
            “Ayo Man, makan yang banyak biar cepet besar” perintah Ayahku.
            “Arman masih kenyang pak”.
            “Kenyang makan apa, makan ubi rebus ya”.
            “Iya” jawab ku singkat.
Begitulah hari-hari yang kulalui bersama Ayah. Jika libur aku selalu membantu Ayah bekerja di sawah. Karena memang pekerjaan Ayah hanya sebagai Petani.

****************
Semuanya berputar hingga tiba ujian Sekolah. Aku binggung karena biaya untuk mengikuti ujian lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Mungkin ini dampak kenaikan BBM yang akhir-akhir ini kerap di perbincangkan di mana-mana. Termasuk di kantin bu Inah, jika sebelum kenaikan BBM uang seribu cukup untuk dua buah gorengan, namun sekarang hanya cukup satu gorengan di tambah dengan satu gelas kecil es tawar.
            “Anak-anak, semuanya sekarang naik, mulai dari BBM hingga bahan-bahan makanan pokok, terpaksa Ibu menaikan harga dari biasanya” ujar ibu Inah kepada anak-anak yang sedang makan di kantinnya.
            “Kok naik sih bu” Tono menjawab lebih dulu.
            “Kalau tidak di naikan, bisa-bisa Ibu bangkrut” kata bu Inah.
Tono terdiam dan kembali mencurahkan kecap di makananya. Aku meneguk es teh manis, kebetulan Tono hari ini berbaik hati ia membayarkan jajananku hari ini. Tono adalah sahabat karibku sejak kelas 1 SMP.
            “Man kamu gak makan?” Tanya Tono.
            “Aku minum saja Ton” jawabku sambil berusaha membetulkan posisi kursi yang miring. Kursi di kantin bu Inah banyak yang sudah reot.
Aku hanya memikirkan bagaimana cara menyampaikan biaya ujian yang melambung tinggi. Pasti Ayah terkejut ketika mendengar hal itu.
            “Man ayo masuk bel udah bunyi tuh” tegur tono sambil menepuk bahuku.
            “Iya” sambil terkejut
Kami berdua menuju ke kelas di ikuti oleh para siswa yang lain. Dalam perjalanan menuju ke kelas tiba-tiba Tono berhenti.
            “Aduh Man, aku lupa bayar makanan kita…!” sambil berlari berbalik arah dan menuju ke kantin bu Inah lagi.
Aku menuggunya dan masih tetap memikirkan pembayaran uang ujian kelak.
            “Man……….!” Tono menepuk bahuku.
            “Aneh kamu gak kaya bisasanya, kamu banyak diam dari tadi”.
            “Kenapa” tambahnya.
            “Gak kenapa-kenapa kok Ton” jawab ku singkat.
            “Aku tahu kamu pasti lagi ada masalah, aku udah lama kenal kamu man”.
            “Biasa aja Ton,gak ada apa-apa kok” dengan menarik tangan Tono dan berlari menuju ke kelas.
            Ibu guru masuk, namun tidak membawa buku pelajaran seperti biasanya. Ada apa pikirku dalam hati.
            “Sudah masuk semuanya anak-anak!” Tanya Bu Amel wali kelas kami.
            “Sudah Bu!” jawab Deni ketua kelas kami.
            “Ayo semuanya bereskan buku dan tas kalian”.
            “Kenapa Bu?” tanyaku.
            “Hari ini kalian pulang lebih awal”.
Semua anak-anak berteriak gembira, namun tidak bagiku. Aku hanya diam sambil mengendong tas yang sudah agak pudar warnanya.
            “Kenapa pulang awal Bu?” tanya Sita anak Kepala Sekolah kami.
            “Hari ini kami para Dewan Guru akan mengadakan rapat, membahas masalah ujian kalian” Bu Amel mencoba menjelaskan.
Mendengar hal itu, aku hanya berharap semoga saja uang ujian tidak jadi naik, kalaupun naik sedikit saja.
            “Sekarang pimpin doa”.
            “Berdoa mulai” teriak Deni sambil memejamkan mata.
            “Selesai”
Satu persatu siswa menghampiri ibu Amel dan mencium tanganya. Sudah menjadi kebiasaan sekolah kami jika hendak pulang sekolah selalu mencium tangan guru.
            Aku dan Tono berjalan bersama. Jarak dari sekolahku menuju kerumah kira-kira setengah jam jika jalan kaki.
            “Man tunggu aku” teriak Tono sambil berlari kearahku.
            “Lho!kok jalan kaki Ton” heran.
            “Ayahku pergi ke luar kota, ada urusan katanya”.
Ayah Tono seorang adalah pembeli padi di Desaku. Semua hasil panen di Desaku di jual ke Ayah Tono.
            Sampai di depan rumah, aku berhenti ku lihat sekeliling rumahku sepi.  Sepeda motor Ayah pun tidak bersandar pada pohon Mangga seperti biasaya. Padahal ini hari Jumat masih jam setengah sembilan pula. Biasanya jika hari Jumat Ayah tidak pergi ke Sawah. Semacam liburlah. Hanya si Tom yang sedang asyik mendengkur di depan pintu rumahku.
            Kubuka pintu namun terkunci, biasanya kunci rumah Ayah taruh di balik pot bunga mawar yang tak mau berbunga. Kuangkat pot itu rupanya memang ada kunci rumah. Kubuka dan masuk sembari mengelus kepala si Tom terlebih dahulu. Melepar tas ke kamar adalah kebiasanku sejak masih SD. Ku menuju dapur dan mengambil air karena harus setelah berjalan dari sekolah ke rumah. Ku buka tudung saji[3] namun hanya kudapatkan sebaskom nasi yang telah berkurang dengan sayur Nangka pemberian tetangga kemarin. Keningku mengkerut, karena hanya kudapatkan nasi dan lauk pauk sekedarnya. Coba Ibu masih ada pasti setumpuk makanan dan lauk-pauk yang enak-enak ku dapatkan saat membuka tudung saji ini, pikirku dalam hati. Ku ambil piring dan mulai mengisi piring dengan nasi dan sayur nagka tadi. Selesai makan aku langsung ke kekamar. Tanpa sadar tersandung olehku sebuah botol obat yang telah kosong. Dalam bungkus itu tertulis obat ini untuk menghilangkan rasa sakit. Aku binggung obat siapa ini, yang kutahu Ayah tidak sakit. Ah mungkin ini botol sengaja Ayah ambil untuk membuat pelita karena aliran listrik di desaku sering padam.
            “Assalamualaikum”, terdengar suara Ayah dari luar. Aku bergegas membukakan pintu untuknya. Belum sempat ia melagkahkan kaki.
            “Ayah dari mana, gak seperti biasanya?” tanyaku.
            “Dari rumah pak Dolah, silaturahmi”.
            “Itu apa dalam plastik putih, kue ya Yah?” Tanyaku lagi sambil menujuk bugkusan yang Ayah bawa.
            “Bukan ini minyak urut” jawab Ayah sambil segera masuk dan menuju kekamarnya.
            Aku curiga karena tidak seperti biasanya, sikap Ayah sedikit berbeda seperti menyembunyikan sesuatu. Namun aku tetap berusaha tidak ambil pusing dengan masalah tadi. Karena dalam pikiranku adalah bagaimana caranya memberitahu Ayah soal biaya ujianku. Kembali kekamar dan mencoba untuk membaca buku pelajaran. Terdengar suara batuk Ayah kembali. Kali ini lebih serak bahkan betuk itu panjang. Kuhampiri Ayah dan berkata
            “Ayah sakit apa, sudah minum obat Yah?” tanyaku dari balik kamar Ayah.
            “Batuk biasa, besok juga sembuh” jawab Ayah singkat.
            “Kamu sudah mandi belum, cepat kita siap-siap sholat Jumat ke Masjid” tambahnya.
Aku bergegas menuju kamar dan mandi, tanpa menjawab pertanyaan Ayah. Kami berangkat ke masjid yang letaknya kira-kira 4 km dari rumahku. Kembali motor butut Ayah berperan dalam hal ini. dan kembali kami menyusuri jalan batu berbatu yang licin. Dulu katanya jalan di Desa kami akan segera di aspal, namun sampai sekarang belum ada buktinya. Entah kemana “rencana” pengaspalan jalan desa kami di sembunyikan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sampai dimasjid Jama’ah telah ramai masuk kedalam masjid. Hingga tiba waktu adzan, kami bergegas mengikuti sholat Jum’at. Dalam perjalanan pulang ingin rasanya mengutarakan masalah biaya ujian kepada Ayah. Tapi bibir ini berat sekali, hingga tak mampu berbicara sepatah pun. Aku takut Ayah terkejut dengan biaya itu. Langit tampak hitam, mugkin akan turun hujan lagi. Ayah mempercepat motor bututnya. Hingga lebih cepat sampai kerumah. Di dalam rumahlah kesempatan terakhir ku untuk mengutarakan uang ujian. Kebetulan juga Ayah sedang duduk sambil menghisap rokok kreteknya di teras.
“Kamu kenapa Man? Seperti orang binggung” tanyanya heran.
“Ayah tahu kalau seminggu lagi Arman ujian sekolah”.
“Lalu apa yang kau risaukan” katanya sambil mengeluarkan asap rokok.
“Biaya ujian Sekolah naik Pak, gak kaya tahun sebelumnya semuanya Rp.250.000” spontan kata-kata itu keluar dari mulutku.
Ayah batuk mendengar ucapanku, dan tanpa sadar Ayah mengeluarkan darah segar dari dalam mulutnya. Aku kaget dan bergegas mengambil air putih untuknya. Setelah minum, Ayah hanya diam dan berusaha menghisap rokoknya kembali. Sebelum rokok itu Ayah hisap sudah lebih dulu ku rebut dan kubuang. Ayah memandangku dengan tatapan tajam dan aku diam saja.
“Sebenarnya Ayah sakit apa” tanyaku.
“Cuma batuk”.
“Kenapa batuk ada darahnya, Arman tahu pasti tadi Ayah dari puskesmas” tegasku.
Ayah hanya diam, kembali meneguk air putih yang aku ambilkan tadi. Ia pergi kedalam tanpa menjelaskan sepatah kata lagi kepadaku. Ayah selalu menyimpan masalahnya sendiri tanpa ingin menceritakan kepada aku anaknya sendiri. Apa mungkin aku masih kecil masih dan berumur 14 tahun hingga tidak boleh mengetahui masalah orang dewasa. Seribu pertanyaan dalam hatiku.
            Tidak ku dengar lagi suara Ayah dan batuknya mugkin sudah tidur. Aku pun menuju kamar mencoba memejamkan mata walau terasa sulit. Karena masih terbayang akan kejadian tadi.  Semoga saja tidak terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan pada kesehatan Ayah. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

******************
Malam itu sedikit gerimis, kemudian ku lihat Ayah sibuk dengan mantel dan berusaha menghidupkan motornya. Lampunya tidak mau menyala, lalu oleh Ayah diganti dengan mengunakan senter yang diikatkan di setang motornya. Aku hanya melihatnya dan tidak berani bertanya lagi. Karena kulihat sepertinya Ayah sedang terburu-buru. Waktu itu pukul 20.00 Wib. Aku tidak tahu Ayah akan kemana yang ku lihat ia membawa parang yang di ikatkan di pinggangnya. Malam makin berlalu namun suara motor Ayah belum juga terdengar. Pedas terasa mata ini menuggu Ayah yang tak kunjung kembali sedangkan jam dinding menujukan pukul 23.00 Wib. Aku tak sanggup lagi menuggunya pulang. Ku putuskan untuk kembali ke kamar dan segera tidur.
Suara Adzan Subuh berkumandang, ku lihat dari  celah kamarnya, namun tidak kudapatkan sesuatupun di kamar tersebut. Hingga setelah Sholat subuh ku dengar suara motor Ayah dan ketukan pintu yang berulang-ulang. Ku hampiri sembari membuka pintu tersebut. Mata Ayah tanpak merah dan begitu lemah, belum sempat sepatah kata ini keluar dari mulutku namun ia segera menuju ke kamar dan memberikan parang itu kepadaku. Aku tambah binggung dengan sikap ayah yang selalu begitu. Apakah ia marah kepadaku ketika mendegar biaya ujianku yang cukup mahal.
Sudah kupersiapkan segala tas dan peralatan Sekolah, namun dari kunjung pula Ayah keluar kamar, mungkin masih tidur pikirku singkat. Aku menuggu bukan untuk meminta uang jajan tapi hendak berpamitan dan mencium tanganya. Rasanya tidak mungkin lagi aku meminta uang jajan kepada Ayah. Jam menujukan pukul 06.10 Wib Aku segera meniggalkan rumah dan segera berangkat ke Sekolah. Di tengah jalan kembali kutemui Tono sahabatku.
“Nggak diantar lagi Ton?” tanyaku.
            “Bapakku masih diluar kota, Man semalam aku lihat ayahmu ada bersama mang Diman ikut menjaga keramba bapak!”
Aku terdiam memikirkan ucapan Tono. Berarti semalam ayah bekerja lembur di keramba bapak Tono, pikirku dalam hati.
            “Kok diam Man, memangnya kamu tidak tahu?” kembali bertanya.
            “Aku gak tahu Ton, kalau Ayahku ikut menjaga keramba”.
Ya sudah ayo berangkat dah siang nih nanti terlambat. Tono menarik tanganku dengan keras. Sampai di Sekolah rupanya lonceng sudah berbunyi.
            Seperti biasa aku pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan berbatu dan kembali bersama Tono. Sampai dirumah keadaan rumah masih seperti kemarin sepi dan tidak pula ku lihat motor ayah yang bersandar di pohon mangga. Ku coba membuka pintu namun kali ini tidak terkunci. Mungkin ayah terburu-buru dan lupa mengunci pintu. Lempar tas dan segera menuju dapur, segelas air putih habis ku minum dalam sekejap. Ku coba membuka tudung saji dan berharap ayah membuat sesuatu yang bisa di makan. “Bismillah” dan mulai ku buka, yang ku lihat hanya sepiring nasi dan selembar kertas bertuliskan “Man kalau lapar ambil telur di petarangan[4] kamu goreng sendiri”.
Keningku kembali mengkerut bahkan lebih kerut dari kening kakekku yang kini tinggal di desa seberang bersama Pamanku. ku coba mengambil telur ayam kampung, tapi induknya masih terlihat dalam petarangan. Ku julurkan tanganku namun sang induk mencoba mematuk tanganku. Ku coba lagi dan lagi sang induk mencoba mematuk tanganku. Mungkin ia tidak rela jika telur-telurnya di ambil olehku. Mana ada sih induk yang rela membuat anaknya celaka, pikirku.
Cacing di perutku semakin berbunyi, namun sebutir telur pun belum juga ku dapatkan. Ingin sekali berteriak minta tolong tetangga namun pasti sia-sia karena rumah mereka sangat jauh. Tak ingin meyerah, kembali kujulurkan tanganku yang kanan dan yang sebelah kiri ku eluskan di kepalanya. Ajaib, induknya tidak mencoba mematuk tanganku, dengan segera ku ambil sebutir telur dan segera turun dari tangga. Mulai mengoreng dan melahapnya dengan semangat.
            Ayah belum juga pulang hingga sekarang,  padahal sudah hampir sore. Aku tak tahu apa yang dikerjakan Ayah diluar sana, yang pasti pekerjaan itu pasti sangat berat. Motor ayah terdengar bersamaan dengan suara adzan Magrib.
            “Sudah makan kamu Man?” tanya nya singkat.
            “Sudah tadi siang”.
Ayah memberiku dua bungkus mie instant, dan segera ia menuju kekamar. Kembali lagi suara batuk ayah terdengar dengan kerasnya. Bahkan ketika menjadi Imam sholat Magrib suaranya menjadi serak dan kecil. Setelah sholat dan makan malam kembali Ayah pergi dengan parang di pinggangnya. Begitulah setiap hari yang kami lalui bersama Ayah akhir-akhir ini. Ayah pulang sebelum Magrib dan kembali pergi setelah makan malam.
********************
Hingga tepat satu hari sebelum pengumpulan uang ujian. Namun kali ini ayah datang lebih awal dari biasanya sebelum adzan Ashar ia sudah pulang. Wajahnya pucat dan badanya sangat lemah. Ku lihat dibaju dalamnya yang berwarna putih ada sedikit bercak merah, apakah darah atau noda aku pun tak tahu. Yang ku tahu ketika masuk rumah ia tidak langsung masuk kamar seperti biasanya. Ia langsung berbaring di ruang tengah sambil menyalakan Radio antik, entah mengapa setiap barang yang di miliki Ayah selalu antik. Mungkin semua barang miliknya hasil peniggalan penjajahan Belanda yang kemudian di wariskan kepadanya oleh Kakek.
“Selamat pagi saudara-saudara dimana pun Anda berada, masih bersama Harsono dalam Warta Berita” ku dengar dengan jelas ketika Ayah mulai menyalakan radionya. Hampir semua isi berita yang ia bacakan berisikan kenaikan harga BBM. Bosan ku dengar, lalu beranjak menuju kekamar.
“Man bisa mijit Ayah nggak” katanya sambil menghentikan langkahku.
“Bisa Yah” jawabku dan kembali mendekatinya
            Ayah membuka bajunya dan memintaku untuk mengusap minyak gosok yang biasa digunakan untuk penyakit encok dan sebagainya. Panasnya sampai di telapak tanganku. Hingga rasanya tak sanggup untuk menerusakanya, namun ayah malah tertidur pulas dengan pijitanku. Mungkin  bawaan capek setelah bekerja siang dan malam, tanpa ku ketahui apa yang di kerjakan ayah diluar sana, yang pasti aku yakin jika pekrjaan Ayah semuanya halal.
            “Kapan uang ujian dikukmpulkan Man?” tanyanya, sambil mengeluarkan batuk kecil
            “Besok Yah”, jawabku singkat.
Belum sempat kami melajutkan pembicaraan, tiba-tiba dari luar terdengar suara motor. Ayah melihatku, seolah menyuruh untuk melihat siapa yang datang. Aku beranjak melihat siapa gerangan yang datang. Rupanya pak Rahmad ayah Tono juragan di desaku.
            “Ayahmu ada Man” tanyanya sambil menaruh sepeda motornya tepat di samping motor butut Ayahku.
            “Ada Pak, di dalam”.
            Aku segera masuk dan memberitahukan hal itu kepada Ayah. Dengan segera ia bangkit dari pembaringanya dan menpersilahkan pak Rahmad masuk. Mereka berbincang-bincang diruang tamu sedangkan aku didapur membuatkan kopi untuk tamu Ayah.
            “Diminum Pak kopinya!”.
            Kulihat di meja terdapat uang 2 lembar pecahan ratusan dan 3 lembar pecahan puluhan. Ketika hendak mengeluarkan asap dari mulutnya tiba-tiba ayah batuk dengan tiada henti di sertai dengan keluarnya darah segar. Spontan aku merangkul ayah dan berusaha menyeka darah yang keluar dengan serbet yang ku bawa. Pak rahman berusaha ikut membantu dengan mengelus-elus bahunya. Batuk itu terheti dan keluar dari mulut ayah mulai mengeluarkan suara yang pelan
            “Man itu uangnya untuk membayar biaya ujian, besok kamu bayar” katanya
Kemudian Ayah kembali batuk bahkan lebih parah. Pak Rahmad mengeluarkan handphone dari sakunya dan menelepon seseorang. Selang 10 menit sebuah mobil kijang datang kedepan rumahku. Ayah di bawa masuk kedalam mobil dengan kondisi yang masih terus mengeluarkan darah dari mulutnya. Aku menagis, kepeluk erat badanya hingga darahnya juga ikut membasahi pakaianku. Mobil mulai meniggalkan rumah ditengah perjalanan ayah memegang tanganku dengan erat.
            “Man Ayah tidak kuat lagi” ucapnya dengan suara sedikit dipaksa.
Tetes air mataku makin menjadi-jadi, “Apa yang sebenarnya terjadi pada Ayahku?”.
Mobil semakin cepat walaupun kondisi jalan sangatlah rusak.
Kondisi Ayah semakin parah,
            “Nyebut Mas!” kata pak Rahmad.
            “As…..haduallah illaha……illalah” berulang-ulang hingga 2 kali terdengar dari mulut ayah.
Ayah berbisik di telinga pak Rahmat, “ Jagakan Arman Kang!” pesanya.
Akihirnya Ayah mengembuskan nafas terakhir dalam perjalanan. Aku berteriak memanggil ayah tanpa henti. Pak Rahmad berusaha menenagkan diriku dengan memeluk dan mengusap air mata tertumpah.
            Semuanya telah pergi meninggalkan, kini tinggal aku sebatang kara di dunia ini. Setelah ayah dikuburkan aku tidak lagi bersekolah dan memutuskan untuk mengurus sawah peniggalanya bersama pamanku Marjan. Meskipun banyak orang ingin membiayai sekolahku termasuk pak Rahmad. Bersama dengan Lembu yang kian berdendang ketika mamang keripik lewat. Burung dara yang membawa kabar dengan hentakan sayapnya, suatu saat aku berharap bisa mendegar kabar dari burung dara peliharaan almarhum. Ayam yang berkokok panjang membangunkan, dialah yang membangunkan tidur panjangku tiap subuh terbentang. Ia mengantikan ibu setelah ia pergi lebih dulu. Serta nakalnya si Tom yang kian hari jarang pulang seiring beranja dewasa kucing tetangaku. Bagiku itu cukup untuk menghilangkan rasa kangen ketika menyerang.
            Seminggu sekali ku sempatkan kaki ini untuk mengayuh sepeda menuju tanah makan ayah dan ibu. Hanya untuk memberitahu masalahku setiap hari beserta banyak hewan peliharaanku. Apakah Tuhan tak adil dengan ini, atau ingin menguji kesabaranku sebagai mahluk paling hina ini.
            Kerap kali air mataku tertumpah, ketika menyentuh nisan kedua orang tua serta adik kecilku. Aku hanya berpikir kapan akan menemuinya disana.

For you friend,,don’t cry again. You are not alone Landak, suKam 2000*




[1] Jenis pohon yang hidup di daerah berair
[2] Beruwah:sejenis mengenang arwah keluarga yang telah mati di iringi dengan doa
[3] Wadah untuk menutup makanan
[4] Tempat ayam bertelur

Comments :

0 komentar to “ayah sang pejuang”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by __________________________________________________

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger