Indah mengenang selama setahun terakhir perjalanan kami, senyum mereka masih melekat erat dalam batok kepalaku. Bahkan suara-suara indah itu tak ingin hengkang dari telingaku. Begitu cepatnya waktu itu berjalan, sepertinya baru kemarin kami bercanda dalam satu lingkaran kontrak kerja di perusahaan ini. Dan “besok” kami akan melaprokan kembali pertangunggjawaban kami sebagai pegawai kepada direktor kami dan pada seluruh karyawan pada umumnya. Kemarin pula kami mengadakan rapat redaksi, dengan tema yang begitu hangat untuk di perbincangkan dalam lingkungan kami. Hingga turun meliput dengan berbagai macam “lagu” sendu dan sedih. Semunya menjadi satu, kemuidan mengumpulkan kepada redaktur hingga menghapus sebagian atau seluruhnya jika bahan berita itu menyalahi aturan yang telah di sempurnakan. Setelah terbit pemberitaan kami mengalami banyak tanggapan. Bahwasanya berita itu di anggap “hot” oleh masyarakat, hingga kami mengadakan diskusi menganggakat masalah di “headline” berita kami. Lingkungan yang selalu menjadi harapan kedepan untuk melangkah indah dan mengukir nama yang tak akan hilang dalam peradaban sejarah. Dunia kelak akan menulis nama-nama kami dalam sejarah itu. Coretan-coretan melingkar licin indentik dengan cacing dalam berbagai coretan menghiasi buku agendaku. Seorang Dokter pun tak akan faham dengan relief tulisanku. Tapi aku akan yakin jika Professor Arkeolog kelak dapat membaca tulisan-tulisan dalam agendaku jika memang bahan penelitianya mengarah pada sebuah tulisan yang tidak lazim di mengerti oleh orang pada umumnya.
Pernah dalam hati berangan untuk dapat menjadikan perusahaan kami sebagai Coorporation yang memiliki kuasa hukum, keberadaanya pun cukup di perhitungkan dalam dunia bisinis media baik lokal maupun internasional. Mungkin gigit jari untuk mendapatkan mimpi-mimpi indah itu, kenyataanya sekarang keuangan kami mengalami devisit yang cukup parah. Tetapi untuk dapat mempunyai angan-angan yang tinggi kita harus bermimpi dulu boy!. Dampak krisis global adalah satu pengaruh keterpurukan perusahan kami. Konsumen tetap kami dengan berbagai alasan memperkecil pesanan. Bahkan menolak untuk kembali berlangganan. Serta para pembeli eceran mengeluh dengan naiknya harga dari produk kami. Bujuk rayu yang manis kami lakukan demi kelancaran dan habisnya media cetak kami. Mulai main mata hingga “belekan” sampai “keliliban” kami lakukan untuk satu tujuan kami. Masalahya, Jika kami tetap mempertahankan dengan harga semula, maka dapat di pastikan perusahaan kami akan “Gulung Tikar” lebih cepat. Para investor kami pun telah banyak berpindah ke perusahaan lain. Apa yang salah dari manajemen kami, apakah semua karyawan perlu mendapat pelatihan manajeman sebuah perusahaan, untuk menigkatkan kinerja mereka.
Dari semua permasalahan yang kami hadapi, kami mengadakan sebuah rapat di ruangan Hotel tanpa dinding. Sebelah kanan terdapat kolam dengan teratai yang baru mekar menambah kesan romantis, tentunya bagi yang sedang dilanda kupu-kupu warna “pink”. Seperti rekan kerja kami yang tengah di hinggapi kupu-kupu itu, kian hari semakin banyak mengitari kepala keduanya. Tapi aneh bagiku keduanya sama-sama ngotot dengan gaya yang sulit ditebak. Bahkan hingga kini keduanya bagaikan sebuah misteri cerita yang tiada akhir, terkadang dapat kulihat senyum manis dari keduanya bahkan merah padam dari salah satunya. Aku hanya dapat berharap semoga kupu-kupu pink yang selalu mengitarinya tak akan pergi dari desah nafas dan detak jantung keduanya hingga menjadi sebuah taman bunga yang ramai akan kupu-kupu yang saling mengitari bunga. Ah…indah rasanya jika dapat melihat kebahagian mereka, suatu hari aku dan rekan-rekan dalam perusahan akan bermimpi menimang “kepompong” buah karya kupu-kupu itu. Bahagia akan kami rasakan bersama jika mimpi itu dapat terwujud, dengan isak tangis pertamanya.
Dalam rapat kami menghasilkan sebuah kesepakatan untuk menambah jumlah karyawan, meskipun kami sadar keuangan kami mengalami defisit. Tapi kami yakin dengan penambahan jumlah karyawan perusahaan kami akan kembali bersinar. Calon karyawan kami juga berlatar pendidikan yang beragam. Kata bijak mengatakan “ sebuah keberagaman akan menghasilkan sebuah kesuksesan”. Setelah menimbang, memperhatikan dan memutuskan kami menerima 10 karyawan baru. Sebenarnya yang melamar ada 29 orang, namun dengan beririingnya waktu dan tugas yang harus mereka kerjakan sebelumnya. Menjadikan mereka gugur ditengah jalan, dan sisanya hanya 10 orang. Tentunya mereka adalah tentara yang siap berperang dalam laga-laga ide kreatif dan inovatif. Rela mati demi kebenaran dalam “kode etik jurnalisme”. Bersenjatakan tinta yang sangat beracun bagi mereka yang membuat kesalahan dalam kehidupan bernegara. Sebelumnya mereka mendapatkan pelatihan di daerah puncak, dengan udara dingin dan jauh dari kebisingan kota. Yang ada hanya bunyi Jangkrik dan Nyamuk yang tak mau beranjak, bau badan lagi-lagi menjadi pemicu berkumpulnya makhluk Tuhan yang di ciptakan untuk mencuri darah manusia maupun lainya. Harus naik turun jurang dengan ketingian kira-kira 1400 Km dari permukaan laut. Sebuah tali kami ulurkan sampai kedasar bukit dengan empat kaitan untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Postur mereka juga lumayan segar dan sehat. Hal yang ku takutkan adalah, ketika mereka menuruni puncak kemudian bergulung-gulung karena terjatuh. Beruntung semuanya berjalan dengan baik. Hanya sehari kami melakukan pelatihan kepada calon karyawan baru, hingga kami resmi menganggkatnya menjadi karyawan tetap. Sebelumnya pikiranku kalut, baru pertama kali mengadakan kegiatan out dor semacam ini, bahkan aku pula yang bertanggung jawab dengan ini. Persiapannya juga begitu rumit, mulai dari surat menyurat sampai di surati dari dari salah satu calon anggota karyawan kami. Dengan bantuan dari rekan satu tim akhirnya kegiatan persiapan pun rampung. Sebuah mobil baru, yang memang baru kami temukan dan lihat, dengan warna hijau menghiasi seluruh bodynya. Semuanya naik dengan tidak menyisihkan space lagi.
Kegiatan itu telah menjadi sejarah dalam perusahaan kami, pasalnya baru pertama kali itu kami mengadakan kegiatan tersebut. Senyum puas dapat kulihat dari wajah-wajah yang nantinya akan menjalankan perusahaan kami menuju sebuah keberhasilan yang membanggakan. Walaupun mata mereka begitu sayup dengan begitu lelahnya dalam kegiatan tersebut. Setelah mereka masuk kantor, kinerja mereka pun tidak di ragukan lagi, mereka mengisahkan cerita baru dalam ruangan kantor kami yang terkadang berantakan dengan sisa-sisa makanan. Bahkan tempat makananya pun masih dapat kujumpai ketika pagi buta menginjakan kaki di sana. Sebuah jadwal telah tertempel untuk mengingatkan mereka membersihkan kantor. Juga sebuah peringatan “dilarang merokok”, namun tetap saja aku menghembuskan asap rokok di ruangan ber-AC yang 5 tahun kedepan akan terwujud. Bukan bermaksud untuk melangar apa yang telah aku tulis “sahabat” namun itu memang menjadi sebuah kesalahan yang begitu rumit untuk di pelajari.
Dalam kantor kami, aku juga mendapat banyak sikap yang begitu berwarna dan saling melengkapi kesunyian. Suara-suara itu terdengar hingar bingar jika bahan berita belum juga terkumpul. Mulai dari short message service menghiasi layar hapeku. Hingga tatapan mata yang dulu pernah diterbitkan karena begitu seramnya. Bukan hanya aku yang mengatakan “cerewet” tetapi sebagian rekan juga setuju dan telah mendukung suaraku jika memang suara tersebut layak untuk ikut dalam “pemilu”. Ruangan ini begitu membuatku mempunyai dunia baru, keluarga baru tanpa ikatan pun terwujud, bahkan mereka telah melahirkan banyak anak yang dengan ajaib telah menjadi besar. Tanpa perlu repot harus membawanya ke sebuah posyandu ketika awal bulan. Dan tak perlu repot-repot pergi ke KUA untuk mengurus pernikahan mereka. Hanya perlu main mata dan sedikit kesabaran untuk mendapatkan seorang calon hidup. Tentunya juga berharap kupu-kupu “pink” hinggap di sekitar kepalanya. Karena tanpa kupu-kupu “pink” mustahil semuanya menjadi “indah pada waktunya” persis seperti Delon bersyair indah.
Lembut dan lembut serta lembut lagi dia selalu member inspirasi untuk selalu bersabar dalam mengahadapi masalah yang kian melanda. Begitu juga ketika aku sering mengaggu “jenkelin” untung hanya sebuah buku yang ia pukulkan. Padahal begitu banyak senjata tajam dalam ruangan itu. Sebuah linggis besar dan palu juga ada di balik meja, tapi aku tak yakin ia akan mengunakan benda itu. Kemudian serius dan banyak lagi sikapnya yang belum ku mengerti dalam diri spongbob itu. Padahal aku juga kerap dipanggil Patrick namun aku tak berharap mempunyai rumah dalam batu. Manisya senyum, dengan gaya rambut dan pakaian yang selalu mengikuti mode “trendsetter”. Lelaki yang harus hijrah jauh dari perhuluan Kalimantan Barat. Ia begitu baik, saking baiknya bahkan lebih baik dari mereka yang mengaku baik. Puitis dan kalem begitu gaya perantauan dari tanah Jawa, yang memberiku inpsirasi untuk mengikuti “eksotisnya” kata-kata dalam setiap tulisanya. Ia pernah bermimpi untuk dapat melihat Butterfly pink itu. Sepertinya ia telah berusaha untuk mengundang kupu-kupu itu untuk hinggap. Bahkan begitu banyak warna-warni bunga untuk mengundang ia hinggap. Yang kutahu kupu-kupu itu pernah hinggap untuk sejenak namun kini kian menjauh. Ada yang salah denganya, atau dengan tamanya. Yang pasti untuk dapat melihat “kepompong” kedua kalinya jauh dari harapan kami.
Kemudian mantapnya sebuah bisnis yang ia jalankan, sehingga tiap kali pergi ke kantor selalu beganti model dan warna kuda besinya. Bahkan bisnisnya mulai merambah di dunia telekomunikasi. Teknologi yang paling tinggi ia gunakan dalam hapenya. Bahkan ia jarang dan tak pernah mengisi daftar hadir di kantor. Kecil tak berarti kalah, ia begitu bersinar di daerah kelahiranya. Ketika libur ia memutuskan untuk pulang dan menjadi “Oemar Bakry”. Sebuah pekerjaan yang begitu membanggakan, mendidik anak-anak yang kelak akan mengharumkan bangsa ini. Jenggotnya kian rapi jika tersenyum malu, datang terlambat kemudian masuk dengan menundukan kepala dan tersenyum lebar. Ruangan akan berubah jika ia datang, menjadi ranah-ranah kegembiraan. Muka serius dan ide-ide cemerlang yang selalu ia berikan dalam rapat kini tidak lagi muncul. Kesibukan di luar menyebabkan ia harus mengambil keputusan itu.
“Wonder women” kira-kira begitu karena dari sekian banyak yang ada, hanya ada kartini-kartini itu yang tak tetap berusaha online dalam kantor tersebut. Aku punya “emak”, aku punya “ibu” dan aku punya “umi” namun alagkah malang nasibku aku tak pernah punya “ayah”. Wajahnya tak begitu akrab bagiku, tak mau bertanya lebih pada “emak” di mana keberadaan ayah. Katanya pergi meniggalkan ketika dunia sedang kacau. Tapi aku bahagia memiliki semua yang ada.
Semuanya menambah daftar cerita dalam hidupku, juga 10 karyawan baru itu. Senyumnya masih menyimpan harapan yang akan membawa “Warta STAIN” ke depan dengan lebih baik. Terimakasih untuk kisah yang tak akan pernah aku lupakan. Sebuah perjalanan panjang yang kelak akan menjadi bahan dongeng jika kemudian memiliki “kepompong” seperti teman dan rekanku. Yang akan memberi pelajaran untuk mengikuti sisa umurku, Yang akan ku bawa sampai nafas ini terhenti untuk membayar mahal semua kegiatan di dunia. Yang ku inginkan adalah ketika dapat melihat lahirya kepompong itu. Aku akan bahagia melihat junior itu dapat meneruskan pekerjaan kami yang mungkin belum sempurna. “setetes air mata akan keluar dari mata laki-laki dan perempuan, karna tak ada yang membedakanya”. Mungkin aku akan menagis jika melihat semuanya tak lagi tersenyum dalam ruangan ini. Begitu indah ketika the pahit dapat mengalir dalam kerongkogan dan lembutnya bantal yang mereka sebut sebagai “bantal busuk”. Juga tenagnya ketika menghempaskan bokong ini ke merahnya kursi itu.
Pernah membaca sebuah novel yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, ketika seorang sahabat dating dan menawarkan sebuah novel yang menurutnya sangat lucu dan dapat membuat kehilangan semua pikiran yang begitu menjenuhkan. Awalnya tidak begitu menghiarukan, aku hanya duduk dan sibuk dengan pensil untuk membuat sket yang akan ku ukir dengan gambar-gambar yang tak akan begitu jelas. Saking binggungnya, mata pensil tersebut patah dan melompat mengenai kaos putih yang baru kemaren dicuci dengan harus mengantri tetes demi tetes air. Proyek perbaikan membuat kota kami kacau, bayangkan jalan-jalan protokoler digali dan ditanami dengan pipa ukuran raksasa. Macet menjadi sebuah pandangan yang tidak mengherankan jika jam-jam sibuk.
Pernah dalam hati berangan untuk dapat menjadikan perusahaan kami sebagai Coorporation yang memiliki kuasa hukum, keberadaanya pun cukup di perhitungkan dalam dunia bisinis media baik lokal maupun internasional. Mungkin gigit jari untuk mendapatkan mimpi-mimpi indah itu, kenyataanya sekarang keuangan kami mengalami devisit yang cukup parah. Tetapi untuk dapat mempunyai angan-angan yang tinggi kita harus bermimpi dulu boy!. Dampak krisis global adalah satu pengaruh keterpurukan perusahan kami. Konsumen tetap kami dengan berbagai alasan memperkecil pesanan. Bahkan menolak untuk kembali berlangganan. Serta para pembeli eceran mengeluh dengan naiknya harga dari produk kami. Bujuk rayu yang manis kami lakukan demi kelancaran dan habisnya media cetak kami. Mulai main mata hingga “belekan” sampai “keliliban” kami lakukan untuk satu tujuan kami. Masalahya, Jika kami tetap mempertahankan dengan harga semula, maka dapat di pastikan perusahaan kami akan “Gulung Tikar” lebih cepat. Para investor kami pun telah banyak berpindah ke perusahaan lain. Apa yang salah dari manajemen kami, apakah semua karyawan perlu mendapat pelatihan manajeman sebuah perusahaan, untuk menigkatkan kinerja mereka.
Dari semua permasalahan yang kami hadapi, kami mengadakan sebuah rapat di ruangan Hotel tanpa dinding. Sebelah kanan terdapat kolam dengan teratai yang baru mekar menambah kesan romantis, tentunya bagi yang sedang dilanda kupu-kupu warna “pink”. Seperti rekan kerja kami yang tengah di hinggapi kupu-kupu itu, kian hari semakin banyak mengitari kepala keduanya. Tapi aneh bagiku keduanya sama-sama ngotot dengan gaya yang sulit ditebak. Bahkan hingga kini keduanya bagaikan sebuah misteri cerita yang tiada akhir, terkadang dapat kulihat senyum manis dari keduanya bahkan merah padam dari salah satunya. Aku hanya dapat berharap semoga kupu-kupu pink yang selalu mengitarinya tak akan pergi dari desah nafas dan detak jantung keduanya hingga menjadi sebuah taman bunga yang ramai akan kupu-kupu yang saling mengitari bunga. Ah…indah rasanya jika dapat melihat kebahagian mereka, suatu hari aku dan rekan-rekan dalam perusahan akan bermimpi menimang “kepompong” buah karya kupu-kupu itu. Bahagia akan kami rasakan bersama jika mimpi itu dapat terwujud, dengan isak tangis pertamanya.
Dalam rapat kami menghasilkan sebuah kesepakatan untuk menambah jumlah karyawan, meskipun kami sadar keuangan kami mengalami defisit. Tapi kami yakin dengan penambahan jumlah karyawan perusahaan kami akan kembali bersinar. Calon karyawan kami juga berlatar pendidikan yang beragam. Kata bijak mengatakan “ sebuah keberagaman akan menghasilkan sebuah kesuksesan”. Setelah menimbang, memperhatikan dan memutuskan kami menerima 10 karyawan baru. Sebenarnya yang melamar ada 29 orang, namun dengan beririingnya waktu dan tugas yang harus mereka kerjakan sebelumnya. Menjadikan mereka gugur ditengah jalan, dan sisanya hanya 10 orang. Tentunya mereka adalah tentara yang siap berperang dalam laga-laga ide kreatif dan inovatif. Rela mati demi kebenaran dalam “kode etik jurnalisme”. Bersenjatakan tinta yang sangat beracun bagi mereka yang membuat kesalahan dalam kehidupan bernegara. Sebelumnya mereka mendapatkan pelatihan di daerah puncak, dengan udara dingin dan jauh dari kebisingan kota. Yang ada hanya bunyi Jangkrik dan Nyamuk yang tak mau beranjak, bau badan lagi-lagi menjadi pemicu berkumpulnya makhluk Tuhan yang di ciptakan untuk mencuri darah manusia maupun lainya. Harus naik turun jurang dengan ketingian kira-kira 1400 Km dari permukaan laut. Sebuah tali kami ulurkan sampai kedasar bukit dengan empat kaitan untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Postur mereka juga lumayan segar dan sehat. Hal yang ku takutkan adalah, ketika mereka menuruni puncak kemudian bergulung-gulung karena terjatuh. Beruntung semuanya berjalan dengan baik. Hanya sehari kami melakukan pelatihan kepada calon karyawan baru, hingga kami resmi menganggkatnya menjadi karyawan tetap. Sebelumnya pikiranku kalut, baru pertama kali mengadakan kegiatan out dor semacam ini, bahkan aku pula yang bertanggung jawab dengan ini. Persiapannya juga begitu rumit, mulai dari surat menyurat sampai di surati dari dari salah satu calon anggota karyawan kami. Dengan bantuan dari rekan satu tim akhirnya kegiatan persiapan pun rampung. Sebuah mobil baru, yang memang baru kami temukan dan lihat, dengan warna hijau menghiasi seluruh bodynya. Semuanya naik dengan tidak menyisihkan space lagi.
Kegiatan itu telah menjadi sejarah dalam perusahaan kami, pasalnya baru pertama kali itu kami mengadakan kegiatan tersebut. Senyum puas dapat kulihat dari wajah-wajah yang nantinya akan menjalankan perusahaan kami menuju sebuah keberhasilan yang membanggakan. Walaupun mata mereka begitu sayup dengan begitu lelahnya dalam kegiatan tersebut. Setelah mereka masuk kantor, kinerja mereka pun tidak di ragukan lagi, mereka mengisahkan cerita baru dalam ruangan kantor kami yang terkadang berantakan dengan sisa-sisa makanan. Bahkan tempat makananya pun masih dapat kujumpai ketika pagi buta menginjakan kaki di sana. Sebuah jadwal telah tertempel untuk mengingatkan mereka membersihkan kantor. Juga sebuah peringatan “dilarang merokok”, namun tetap saja aku menghembuskan asap rokok di ruangan ber-AC yang 5 tahun kedepan akan terwujud. Bukan bermaksud untuk melangar apa yang telah aku tulis “sahabat” namun itu memang menjadi sebuah kesalahan yang begitu rumit untuk di pelajari.
Dalam kantor kami, aku juga mendapat banyak sikap yang begitu berwarna dan saling melengkapi kesunyian. Suara-suara itu terdengar hingar bingar jika bahan berita belum juga terkumpul. Mulai dari short message service menghiasi layar hapeku. Hingga tatapan mata yang dulu pernah diterbitkan karena begitu seramnya. Bukan hanya aku yang mengatakan “cerewet” tetapi sebagian rekan juga setuju dan telah mendukung suaraku jika memang suara tersebut layak untuk ikut dalam “pemilu”. Ruangan ini begitu membuatku mempunyai dunia baru, keluarga baru tanpa ikatan pun terwujud, bahkan mereka telah melahirkan banyak anak yang dengan ajaib telah menjadi besar. Tanpa perlu repot harus membawanya ke sebuah posyandu ketika awal bulan. Dan tak perlu repot-repot pergi ke KUA untuk mengurus pernikahan mereka. Hanya perlu main mata dan sedikit kesabaran untuk mendapatkan seorang calon hidup. Tentunya juga berharap kupu-kupu “pink” hinggap di sekitar kepalanya. Karena tanpa kupu-kupu “pink” mustahil semuanya menjadi “indah pada waktunya” persis seperti Delon bersyair indah.
Lembut dan lembut serta lembut lagi dia selalu member inspirasi untuk selalu bersabar dalam mengahadapi masalah yang kian melanda. Begitu juga ketika aku sering mengaggu “jenkelin” untung hanya sebuah buku yang ia pukulkan. Padahal begitu banyak senjata tajam dalam ruangan itu. Sebuah linggis besar dan palu juga ada di balik meja, tapi aku tak yakin ia akan mengunakan benda itu. Kemudian serius dan banyak lagi sikapnya yang belum ku mengerti dalam diri spongbob itu. Padahal aku juga kerap dipanggil Patrick namun aku tak berharap mempunyai rumah dalam batu. Manisya senyum, dengan gaya rambut dan pakaian yang selalu mengikuti mode “trendsetter”. Lelaki yang harus hijrah jauh dari perhuluan Kalimantan Barat. Ia begitu baik, saking baiknya bahkan lebih baik dari mereka yang mengaku baik. Puitis dan kalem begitu gaya perantauan dari tanah Jawa, yang memberiku inpsirasi untuk mengikuti “eksotisnya” kata-kata dalam setiap tulisanya. Ia pernah bermimpi untuk dapat melihat Butterfly pink itu. Sepertinya ia telah berusaha untuk mengundang kupu-kupu itu untuk hinggap. Bahkan begitu banyak warna-warni bunga untuk mengundang ia hinggap. Yang kutahu kupu-kupu itu pernah hinggap untuk sejenak namun kini kian menjauh. Ada yang salah denganya, atau dengan tamanya. Yang pasti untuk dapat melihat “kepompong” kedua kalinya jauh dari harapan kami.
Kemudian mantapnya sebuah bisnis yang ia jalankan, sehingga tiap kali pergi ke kantor selalu beganti model dan warna kuda besinya. Bahkan bisnisnya mulai merambah di dunia telekomunikasi. Teknologi yang paling tinggi ia gunakan dalam hapenya. Bahkan ia jarang dan tak pernah mengisi daftar hadir di kantor. Kecil tak berarti kalah, ia begitu bersinar di daerah kelahiranya. Ketika libur ia memutuskan untuk pulang dan menjadi “Oemar Bakry”. Sebuah pekerjaan yang begitu membanggakan, mendidik anak-anak yang kelak akan mengharumkan bangsa ini. Jenggotnya kian rapi jika tersenyum malu, datang terlambat kemudian masuk dengan menundukan kepala dan tersenyum lebar. Ruangan akan berubah jika ia datang, menjadi ranah-ranah kegembiraan. Muka serius dan ide-ide cemerlang yang selalu ia berikan dalam rapat kini tidak lagi muncul. Kesibukan di luar menyebabkan ia harus mengambil keputusan itu.
“Wonder women” kira-kira begitu karena dari sekian banyak yang ada, hanya ada kartini-kartini itu yang tak tetap berusaha online dalam kantor tersebut. Aku punya “emak”, aku punya “ibu” dan aku punya “umi” namun alagkah malang nasibku aku tak pernah punya “ayah”. Wajahnya tak begitu akrab bagiku, tak mau bertanya lebih pada “emak” di mana keberadaan ayah. Katanya pergi meniggalkan ketika dunia sedang kacau. Tapi aku bahagia memiliki semua yang ada.
Semuanya menambah daftar cerita dalam hidupku, juga 10 karyawan baru itu. Senyumnya masih menyimpan harapan yang akan membawa “Warta STAIN” ke depan dengan lebih baik. Terimakasih untuk kisah yang tak akan pernah aku lupakan. Sebuah perjalanan panjang yang kelak akan menjadi bahan dongeng jika kemudian memiliki “kepompong” seperti teman dan rekanku. Yang akan memberi pelajaran untuk mengikuti sisa umurku, Yang akan ku bawa sampai nafas ini terhenti untuk membayar mahal semua kegiatan di dunia. Yang ku inginkan adalah ketika dapat melihat lahirya kepompong itu. Aku akan bahagia melihat junior itu dapat meneruskan pekerjaan kami yang mungkin belum sempurna. “setetes air mata akan keluar dari mata laki-laki dan perempuan, karna tak ada yang membedakanya”. Mungkin aku akan menagis jika melihat semuanya tak lagi tersenyum dalam ruangan ini. Begitu indah ketika the pahit dapat mengalir dalam kerongkogan dan lembutnya bantal yang mereka sebut sebagai “bantal busuk”. Juga tenagnya ketika menghempaskan bokong ini ke merahnya kursi itu.
Pernah membaca sebuah novel yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, ketika seorang sahabat dating dan menawarkan sebuah novel yang menurutnya sangat lucu dan dapat membuat kehilangan semua pikiran yang begitu menjenuhkan. Awalnya tidak begitu menghiarukan, aku hanya duduk dan sibuk dengan pensil untuk membuat sket yang akan ku ukir dengan gambar-gambar yang tak akan begitu jelas. Saking binggungnya, mata pensil tersebut patah dan melompat mengenai kaos putih yang baru kemaren dicuci dengan harus mengantri tetes demi tetes air. Proyek perbaikan membuat kota kami kacau, bayangkan jalan-jalan protokoler digali dan ditanami dengan pipa ukuran raksasa. Macet menjadi sebuah pandangan yang tidak mengherankan jika jam-jam sibuk.
pada 29 Oktober 2009 jam 12:33