Oleh: Marisa
Cuaca hari itu sedikit cerah, walaupun di sebelah barat ada gumpalan awan hitam yang cukup tebal, namun hal tersebut tidak sedikitpun mengurangi keindahan panorama alam di sore hari, saat matahari mulai condong ke barat.
Di gedung Dakwah sore itu, tepatnya di kelas BPI semester IV, saya duduk bersama Hardianti. Hari itu, Yanti, begitu saya sering menyapanya, memang saya “pesan” khusus untuk diwawancarai. Di situ juga ada Septian dan Erika. Sama seperti kami, hari itu mereka juga sedang melakukan hal yang sama. Mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang orang yang sedang diwawancarai.
Kami dari kelas Feature, minggu itu, masing-masing mendapat tugas dari Pak Yusriadi, untuk membuat biografi salah seorang teman sekelas. Namun siapa yang ditulis dan menulis siapa, telah ditentukan dan dibagi. Jadi hari itu, kami semua saling kejar-kejaran narasumber. Pekerjaan yang sedikit melelahkan, namun bagi saya ini pengalaman baru, dan sangat menyenangkan.
Hari itu, Yanti mengenakan jilbab warna coklat muda (saya rasa jilbab ini, adalah jilbab favoritnya, karena saya sering melihat dia mengenakannya). Dia memakai baju kaos hijau, dipadankan dengan rok coklat plus swieter hitam. Menurut saya, penampilannya hari itu terkesan santai. Apalagi ditambah, sendal jepit dengan kaos kaki warna coklat muda (walau sedikit nggak nyambung, namun dia tetap kelihatan manis).
Obrolan kami dibuka dengan ketawa. Tak tahu persis apa yang kami tertawakan, Yanti bilang rasanya lucu aja diwawancarai seperti ini. “Icha, tuh.. mau mewawancarai Yanti, kayak orang mau ngape jak…” katanya dengan mimik lucu.
Melihat dia ketawa seperti itu, saya juga tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Karena saking ributnya kami, Erika yang sedang serius mendengarkan celotehan Septian, sampai teriak, minta kami berhenti. Dia bilang,
“Rika tak mau, diwawancarai kak Yanti, klo ketawanya tak distop sekarang” katanya mengancam.
Mendengar ancaman tersebut (yang sebenarnya ditujukan ke Yanti) kami segera menghentikan “aksi gila” kami tersebut. Karena Yanti takut, kalau ancaman Rika benar, maka dia bakal kehilangan narasumbernya.
Tapi, dasar Yanti, karena diancam sama Rika, dia malah balik mengancam saya.
“Kalau Rika tak mau diwawancara, Yanti tak mau ga’ diwawancara Icha…” katanya santai.
Terus saya bilang, “Lho… kok gitu ?“.
“Ye lah… biar tugas kita sama-sama tak selesai”. Katanya cuek.
Mendengar Yanti berkata seperti itu, Erika kembali menyahut, “Awas ye, kalau kak Yanti tak mau diwawancarai kak Icha, Erika pulang”. Kata Erika kembali mengancam Yanti. Saya hanya tersenyum memandang ke arah Erika, lalu berpaling ke Yanti, yang wajahnya jadi sedikit cemberut, mendengar ucapan Erika barusan.
“Ya udah deh… kita mulai sekarang ya…ketawanya kita pending dulu sampe besok, ok…”. Akhirnya saya merayunya.
“Tapi usah telan Yanti ye…”. Katanya lagi. Saya kembali tersenyum mendengarnya.
Yanti memang pernah bilang, semenjak dapat tugas ini, dia merasa bahwa seolah-olah saya akan “menelannya”, karena setiap gerak-geriknya selalu saya perhatikan, mulai dari cara dia berjalan, cara membaca, cara makan dan lain-lainnya. (Kan seperti detektif…)
Hal itu juga pernah di utarakan Yanti ke Pak Yus, dia bilang “Papah…Yanti mau komplain, ngape Yanti harus diwancarai sama Icha, Yanti tuh… serasa mau ditelan Icha jak… setiap tingkah laku Yanti selalu diperhatikan”, katanya waktu itu, melalui cerita Pak Yus. Tapi saya yakin, dia tak serius mengatakan penolakan itu.
Saya mengenal Yanti untuk pertama kali, pada kegiatan Seminar Satu Dasawarsa STAIN Pontianak, yang diadakan oleh Pusat Pengembangan Pengabdian Masyarakat (P3M). Saat itu Yanti, menjadi salah satu pematerinya. Selain dia juga ada Ambar, Hanisa, dan Dearti.
Kesan pertama waktu saya melihatnya, saya kagum, salut, sekaligus cemburu. Waktu itu, dalam pandangan saya, Yanti memang paling menonjol. Walau yang lain juga bagus, tapi Yanti punya sesuatu yang beda, dia lebih enjoy dengan apa yang dia sampaikan. Dan saya, benar-benar terkesan, dalam hati saya berfikir, satu hari nanti, saya harus bisa seperti dia. Harus!.
Saya masih ingat, waktu menjadi pemateri, saat itu dia sedang batuk. Jadi setiap kali dia batuk, dia selalu minta maaf pada kami (peserta). Ada kata yang diucapkannya berulang-ulang, yakni “Maaf ni, suara Yanti lagi tak elit”. Dan saat mikrofon yang digunakannya juga sedikit bermasalah, dia juga bilang hal yang serupa, “Maaf ni, mikrofonnya juga lagi tak elit”.
Menurut ceritanya Yanti, tiga hari sebelum kegiatan seminar tersebut, dia memang sudah batuk-batuk. Bahkan katanya, sehari sebelumnya, dia juga sudah menghubungi ketua panitia, minta agar dia tidak presentasi di sesi pertama. Namun sayang, permintaan tersebut tidak dikabulkan.
“Yanti tuch… sebel sekali. Yanti minta diundur ke sesi terakhir ba… tak diterima. Malah waktu itu, ketua panitia nyuruh Yanti makan jeruk banyak-banyak”. Katanya sedikit cemberut.
“Icha tau ndak… malam itu, Yanti langsung beli permen jahe, dan air jahe juga. Biar suara Yanti bisa kembali (memangnya hilang kemana ya…?). Dan paginya, Yanti beli jeruk nipis tiga buji (berasal dari kata buah dan biji, yang dicampur jadi satu). Yanti habiskan semuanye. Hasilnya, maag Yanti kambuh”. Katanya tersenyum, sambil jarinya memainkan ha-pe yang terlihat imut, dengan casing-nya yang berwarna pink. (Padahal, Yanti mengaku paling tak suka dengan warna pink, Karena menurutnya, warna pink adalah warna centil)
Tapi, hari itu, walaupun dengan kondisi kesehatan yang kurang memadai, saya rasa presentasinya boleh dikatakan berhasil (sangat). Bukan hanya saya, bahkan ada salah satu dosen yang waktu itu menjadi peserta, memuji-muji Yanti.
Dosen tersebut bilang, “Kamu (Yanti), adalah salah satu mahasiswa yang bisa dijadikan harapan dan kebanggaan kampus kita”. Kata beliau waktu itu, yang disambut tepuk tangan meriah oleh seluruh peserta. Dan saya setuju itu.
Sejak seminar hari itu, kami secara tidak sengaja selalu berpapasan, dan saya sering memperhatikannya. Karena, memang kami berada dalam satu jurusan, cuma berbeda program studi (Prodi), Yanti mengambil Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).
Saat saya Tanya alasan dia masuk ke STAIN, dengan santai dia menjawab “Karena Yanti tak mau masuk Untan”. Terus saat ditanya mengapa ia tidak mau masuk Untan, padahal hampir semua orang sangat menginginkan bisa kuliah di sana. Kembali dengan gaya khasnya, dia menjawab “Karena Yanti mau masuk STAIN”. Saya akhirnya menyerah, pertanyaannya saya ganti, “Mengapa Yanti memilih jurusan Dakwah?. Dijawabnya, “Karena Yanti tak mau masuk Tarbiyah!”. Saya akhirnya benar-benar menyerah. “Yanti ni aneh tau nggak!”. Kata saya waktu itu, dia hanya membalasnya dengan senyum.
Saat ditanya tentang siapa dosen favoritnya, Yanti sedikit enggan menjawab. Karena menurutnya, semua dosen yang ada di STAIN khususnya dosen di Jurusan Dakwah, adalah idolanya. Dia hanya sedikit memberi gambaran, bahwa sosok dosen idolanya adalan seorang dosen yang pintar, namun tidak sombong akan ilmunya. Dia paling tidak suka kepada dosen yang sampai mempermalukan mahasiswanya di depan umum.
“Bagi Yanti, jika seorang dosen telah berbuat demikian, maka di mata Yanti, dosen tersebut akan gugur sebagai dosen yang patut ditiru”. Katanya
Saya tidak tahu persis sejak kapan kami mulai akrab, ia berjalan begitu saja. Karena Yanti memang sosok yang mudah akrab dengan siapapun. Saya sering mendengar tentang dirinya melalui cerita Pak Yusriadi, salah satu dosen favorit Yanti dan sekaligus sebagai dosen Penasehat Akademik (PA) Yanti.
Waktu itu Pak Yus pernah bilang “Jika kamu ingin belajar menulis, maka belajarlah pada orang yang memang pintar menulis, salah satunya adalah Hardianti”. Bahkan satu hari, bapak juga pernah mengatakan bahwa dalam beberapa hal, kemampuan menulis Yanti melebihi beliau. “Seandainya, Yanti adalah teman satu angkatan bapak, pasti dia menjadi teman diskusi yang paling menyenangkan”. Ujar beliau.
Prestasi dalam bidang kepenulisan ini, sudah ada sejak ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Di SMA N I Pontianak, ia sudah sering menulis di Ekomedia, selain itu juga ia aktif di Yayasan Madanika. Saat kuliah, selain menulis di Warta STAIN, tulisannya juga sering terbit di Koran-koran daerah seperti Borneo Tribune, Pontianak Post, dan Equator. Khusus Koran Equator, dia menulis di bagian Sastera.
Selain di Koran-koran, tulisan Yanti juga pernah diterbitkan ke dalam sebuah buku, bersama tulisan-tulisan dosen dan mahasiswa STAIN, yang merupakan kumpulan hasil dari penelitian tentang Islam di pedalaman. Buku tersebut berjudul Dayak Islam di Kalimantan Barat, yang diterbitkan oleh STAIN Press.
Penampilan Yanti boleh dikatakan jauh dari kesan feminim. Pak Yus pernah nulis begini (di blognya Bapak), “Ti (Yanti) itu, tidak seperti mahasiswi pada umumnya, beberapa kali saya perhatikan jilbabnya selalu miring ke sana-sini, bahkan anak rambutnya juga sering keluar. Wajahnya juga nampak berminyak, jika berpapasan dengannya, tak pernah saya mencium bau farfum yang dikenakannya. Jalannya juga suka cepat-cepat. Yang kasian tu Hanisa, karena dia yang feminim tuh, harus mengimbangi jalannya Yanti.” Begitulah kira-kira komentar yang di tulis pak Yus tentang sosok Yanti ini.
Menurut saya, satu hal yang “menyelamatkannya” dari predikat tomboy adalah, karena dia selalu memakai rok. Yanti memang tak pernah terlihat menggunakan celana, saat keluar rumah.
Yanti paling suka memakai ransel besar jika ke kampus. Bahkan menurut saya, dengan tinggi badannya 155 CM, dan berat badan 44 KG, ransel tersebut terkesan jauh lebih besar di banding ukuran tubuh mungilnya tersebut.
Barang-barang yang selalu nangkring di dalam ranselnya Yanti, bukanlah barang yang umumnya terdapat di dalam tas seorang perempuan (Khususnya yang senang memperhatikan penampilan), seperti kaca, bedak atau kosmetik yang lainnya. “Kosmetik” ala Yanti adalah buku-buku tebal, air putih, dan entah apalagi.
Tapi yang jelas, ransel tersebut, tiap hari selalu kelihatan penuh berisi, dan berat. Saya jadi terfikir, seandainya ransel tersebut bisa ngomong, pasti dia akan protes tiap hari, karena dia selalu diberikan beban yang berat setiap harinya. Untung saja ransel cuma barang mati
Yang jelas, menurutnya, buku-buku yang sering memenuhi ranselnya tersebut sebagian besar bukanlah buku mata kuliah. Akan tetapi buku-buku umum. Yang dipinjam dari teman-temannya.
“Terus terang, Yanti tu… kurang suke baca buku-buku bahan kuliah, Yanti lebih suke baca buku-buku umum, dan novel”. Katanya. Saat saya bilang, “Jadi, koleksi novel Yanti udah banyak dunk”. Dijawabnya “Ndak, kebanyakan novel yang Yanti bace tu, minjam. Soalnye harga novel tu, mahal”. Katanya. (Jelas mahal, karena novel kesukaan Yanti adalah hasil karya penulis terkenal negeri ini, dan juga penulis luar negeri, yang karyanya merupakan best seller).
Yanti pernah mengeluhkan harga buku-buku di Indonesia ini yang terbilang mahal, untuk ukuran kantong mahasiswa. Apalagi, baru-baru ini muncul agenda pemerintah yang berencana untuk menaikkan harga buku sebanyak 30 persen.
“Makin susahlah kite ni nak beli buku…”, katanya suatu hari.
Satu hari, saat kami duduk-duduk di tangga depan kantor P3M, Yanti pernah bilang, bahwa suatu hari nanti dia ingin membuat sebuah perpustakaan pribadi. Di pepustakaan kepunyaannya tersebut, dia akan memberikan kebebasan pada setiap orang untuk meminjam buku-buku koleksiannya, terutama pada orang-orang yang kurang mampu, tanpa dipungut bayaran. Pokoknya semuanya gratis!”. Katanya bersemangat. Saya tersenyum mendengar penuturannya. Terus saya bilang “Kalau dibebaskan sebebasnya, nanti buku yanti tak dikembalikan, gimana?. Kata saya.
“Ee… gimana ye… harus dikembalikanlah”. Katanya dengan nada sedikit bingung.
Yanti adalah tipe orang yang sangat jarang betah di rumah. Dia lebih senang berpetualang bersama sahabat-sahabatnya. Walaupun begitu, dia mengaku tidak memiliki satu tempat khusus untuk nongkrong bareng teman-temannya.
“Bagi Yanti, semua tempat itu istimewa. Jadi kalau kami pengen singgah, ya singgah aja…” ujarnya, waktu itu. Namun, bersama Ambar, jika mereka sedang pulang kemalaman dari kampus, mereka berdua suka singgah minum sekoteng, di kios tepi jalan di daerah Kota Baru.
Suatu hari, saat saya mempunyai kesempatan singgah di tempat favoritnya tersebut. Saya jadi tahu, mengapa Yanti senang nongkrong di situ. Karena tempatnya memang sangat starategis untuk mengamati bintang atau bulan jika cuaca sedang cerah.
Jika sedang ada di rumah, Yanti lebih memilih menonton TV. Yang mengejutkan saya, tontonan Yanti bukannya acara semacam sinetron remaja, infotainment atau program-program semacamnya, yang biasanya digandrungi para gadis.
Yang menjadi “santapan” Yanti adalah film-film kartun. Bahkan dia sampai hafal nama-nama tokoh kartun tersebut. Yanti paling mengagumi tokoh Detektif Conan, dia juga suka sama si gokil Spongebob Squarepants, si penyelamat bumi Avatar, The Da Vincy Code, dan si penyihir keren Harry Potter.
Dewi, salah satu mahasiswi Tarbiyah mengatakan, “Kalau Dewi lihat Yanti, pasti yang terbayang berbarengan dengan wajahnya itu, adalah Harry Potter. Bukan karena wajahnya mirip, akan tetapi, karena kalau Yanti udah cerita tentang Harry Potter, ceritanya itu bisa sedetil-detilnya. Seolah-olah yang menjadi pencipta tokoh penomenal Harry Potter itu adalah Yanti, bukannya J.K Rowling” katanya.
Yanti boleh dikatakan agak pendiam. Jika sedang berada dalam kelas atau suatu acara, dia lebih suka mendengar dari pada bicara. Dia hanya akan bicara jika telah diminta.
Erni Purwanti pernah mengatakan “Yanti itu lebih suka memperhatikan dan mengamati, daripada berkomentar”.
Hal itu sangat cocok sekali dengan keahlian yang ia miliki, yakni menulis karena memang, seorang penulis itu, biasanya tak banyak bicara, karena ia lebih senang menuangkan apa yang ada di otaknya lewat tulisan daripada lisan. Namun, kata Erni, “Jika Yanti sudah angkat bicara, pembicaraannya sangat berbobot, dengan gaya yang lugas dan tegas” (udah kayak bahasa Koran aja…)
Masih menurut Erni, Yanti itu orangnya sangat perhatian sama teman-temannya, sikap yang selalu care dan berempati tersebutlah yang selalu membuat Erni selalu kangen, kalau Yanti tidak ada di dekatnya. Yanti juga tak pernah pilih-pilih teman, bagi Yanti, semua sahabatnya adalah sahabat terdekatnya.
Tapi ada beberapa hal, yang menurut Erni kurang disukai dari Yanti yakni, sikapnya yang kadang suka pelupa, teledor, dan yang sering bikin sebel, adalah kalau sikap cueknya udah muncul. “Tapi, walaupun Yanti itu cuek, tapi kadang ia juga bisa romantis, dia juga suka bikin puisi…”. Tambah Erni diiringi senyum.
Sedangkan menurut Ambaryani, “Kak Yanti tu, nyebelin kalau datang “penyakit” Narsisswatinya. Tapi, pada prinsipnya, kak Yanti adalah sahabat yang baik bagi semua orang” katanya suatu hari, sambil mengarahkan senyum ke Yanti yang duduk di sampingnya.
Dulu Ambar juga pernah bilang, bahwa antara Yanti dan Pak Yus itu banyak persamaan. Saya awalnya sedikit kurang percaya. Tapi setelah lama-lama saya perhatikan, saya setuju. Keduanya suka jalan cepat-cepat, pelupa, kemana-mana juga suka bawa ransel besar, serius tapi kadang juga datang sifat jahilnya, cuek (tapi perhatian) dan terakhir pastinya, keduanya pintar nulis.
Nurkholissotin, yang biasa kami sapa dengan Lilis, saat saya tanya komentarnya tentang sosok Yanti mengatakan, “Kak Yanti tuh, orangnya sangat sulit ditebak. Tapi yang pasti, dia itu orangnya sangat cerewet. Tapi kalau dia sedang marah, maka dia akan langsung diam”. Katanya sambil tersenyum.
Gadis imut, yang paling maniak sama warna hijau ini (tapi bukan hijau dangdut), sangat menyukai air. Jadi tak heran, tempat yang menjadi favoritnya di kampus adalah kolam. “Yanti tuh… paling betah berlama-lama di samping kolam, biar bisa main air” katanya.
Hoby main air ini, ternyata sudah sejak ia masih anak-anak. Dulu, di samping rumah Yanti ada tempayan yang digunakan ibunya, untuk menampung air. Jadi Yanti kecil ini, bila punya kesempatan, suka membenamkan kepalanya ke dalam tempayan tersebut. Jadi tak heran, ibunya sering marah-marah dikarenakan “hoby aneh” Yanti itu. Dan alasan yang dikemukakannya juga menurut saya aneh. “Yanti pengen latihan pernafasan”. Katanya santai.
Walaupun sekarang Yanti telah memasuki tahun ke tiga, kuliah di STAIN Pontianak, akan tetapi kesukaan Yanti terhadap air tak pernah hilang. Cuma bedanya, sekarang, Yanti tak pernah lagi main di tempayan (nggak mungkin dong…).
Akan tetapi, sekarang yang menjadi “korban” hobynya tersebut adalah kamar mandi. “Yanti, kalau sudah masuk kamar mandi, bisa tahan berjam-jam. Sebenarnya, prosesi mandinya tu… sebentar jak, yang buat lama, Yanti main air di dalam”. Jadi tak heran, orang rumah Yanti sering komplain, “karena mereka tahu, apa yang Yanti kerjekan di dalam”. Katanya.
Tapi ironisnya, walaupun sejak kecil sampai sekarang Yanti suka main air. Namun kata Ambar, ternyata Yanti tidak bisa berenang. Bagi saya ini lucu, kok bisa gitu ya…?.
“Wajar dunk, Yanti kan, tak pernah tinggal di dekat sungai “ katanya membela diri.
Saking sukanya Yanti dengan air, dia juga menyukai hal-hal yang masih berhubungan dengan air. Misalnya, pantai, dia bilang pantai itu sangat keren. Pantai itu punya misteri yang mengagumkan.
Selain pantai, Yanti juga suka dengan hujan. Bagi Yanti, hujan adalah pesta dansa dan tarian alam yang paling indah di dunia. Apalagi, jika saat hujan ada angin, jadi pohon-pohon yang bergerak tertiup angin tersebut seolah-olah sedang menari, mengikuti irama alam. “Indah dan keren sekali, pokoknye”. Katanya dengan wajah yang berbinar.
Ada tiga hal yang paling membuat sebel seorang Yanti yaitu, diabadikan, maksudnya difoto, atau direkam pakai kamera. Yanti mengaku, pernah melempari kru TV STAIN, pakai sepatu, karena mencoba mengarahkan kamera ke wajahnya.
“Yanti tu, ‘dah memperingatkan mereka, tapi mereka tetap bandel… ya… udah Yanti lempar jak…” katanya, sambil membetulkan jilbabnya yang miring.
Hal kedua yang juga dibencinya adalah, kalau dia dilarang baca buku, atau dilarang manulis. Hal itu terjadi biasanya pada saat orangtuanya, melihat Yanti sakit, jadi perlu istirahat. Sedangkan Yantinya, merasa dia baik-baik aja….
Terus hal ketiga yang sama menjengkelkan Yanti adalah, jika dia disuruh dandan. Karena Yanti mengaku dia sama sekali tak mengerti, cara-cara berdandan itu, jadi baginya, mengapa ia harus memaksakan diri. “Lagian kan… Yanti tak suke…” tambahnya. Tapi, walaupun yanti tak suka, dia mengaku senang melihat orang yang pandai dandan.
Cewek unik, yang hoby makan sate ayam ini, ternyata sangat mandiri. Selain kuliah, saat ini dia juga sedang bekerja di Warnet P3M, di kawasan Kota Baru. Warnet tempat dia bekerja tersebut diberinya gelar Warnet Ter Cinta (WTC). Di sana Yanti bekerja dari sore sampai malam.
Dia mengaku sudah sangat menyatu dengan WTC-nya tersebut. Bapak Yanti pernah menyuruhnya untuk berhenti kerja di situ. Namun, dengan sepenuh hati dia mempertahankan argumennya sehinggga ia tetap bisa bertahan di sana, sampai hari ini.
“Bagi Yanti, WTC itu, sudah menjadi bagian dari diri Yanti. Yanti tak bise bayangkan kalo’ Yanti tak boleh lagi kerja di sana. Ni bukan masalah uang, tapi Yanti tu merase, jika ada di WTC, Yanti jadi banyak ketemu dengan orang-orang baru, jadi ide untuk menulis tu, ade terus”. Ujarnya satu hari, saat kami jalan bersama, menuju gedung Unit Pelaksana Tekhnis (UPT) STAIN, untuk melihat kru STAIN TV yang sedang syuting. Yanti adalah salah satu kru di sana.
Yanti, yang sejak SMA memang telah sangat akrab dengan dunia kepenulisan ini, sekarang sedang menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) STAIN Pontianak, periode 2008/2009, tempat ia dan kami menuntut ilmu.
Untuk membuat dia setuju saat ditunjuk menjadi ketua LPM, pada Musyawarah Besar (Mubes) LPM, adalah proses yang sangat alot. Pasalnya, Yanti menolak. Dia beralasan bahwa, saat kepengurusan tahun lalu, dia yang menjabat sebagai ketua bidang penerbitan, merasa telah gagal menjalankan amanah yang diberikan padanya.
“Mane mungkin Yanti bisa menjabat sebagai ketua umum, sebagai ketua bidang jak… Yanti gagal. Selain itu, teman-teman kan tau, Yanti udah semester enam, bentar agik PPL. Yanti tak mau LPM nanti terbengkalai. Dan Yanti juga banyak kekurangan, yang bisa sangat fatal akibatnya jika sampai Yanti menjabat sebagai ketua umum. Yanti suka numpuk kerjaan, kalo’ kuliah, suka datang telat, dan yang paling urgen adalah, Yanti tu, tak suka jika harus berhubungan dengan banyak orang, melobi sana-sini. Yanti juga paling benci dengan yang namanya birokrasi”. Katanya waktu itu, panjang lebar. Dengan wajah yang terlihat sangat serius, bahkan terkesan hampir menangis. Karena saking tidak inginnya dia kalau sampai terpilih.
Namun sebanyak apapun argumen yang ia sampaikan pada waktu itu, tidak bisa mematahkan kamauan peserta Mubes. Dan Yanti, benar-benar tidak bisa berkutik. Ia terpilih secara aklamasi. Dan dengan berat hati, ia akhirnya menerima keputusan tersebut. Akan tetapi sebelum palu sidang diketuk sebagai pengesahan, dia sempat mengajukan syarat yang harus dipenuhi jika dia benar-benar akan ditunjuk sebagai ketua.
“Baik, Yanti terima. Tapi dengan satu syarat. Pengurus yang akan membantu Yanti nantinya, harus Yanti yang nentukan. Dan ndak ade yang boleh menolak, jika tidak, Yanti mengundurkan diri!”. Katanya tegas. Waktu itu kami hanya tersenyum sambil mengangguk mengiyakan.
Gadis yang lahir pada tanggal 10 Juni 1985 ini, bercita-cita menjadi seorang peneliti dan penulis sekaligus. Satu hari, dia pernah berkata “Nanti, saat Yanti sedang meneliti di suatu daerah terpencil, selain menulis entang apa yang Yanti teliti, Yanti juga akan membuat sebuah novel tentang masyarakat setempat, pasti seru…”. Katanya dengan senyum khasnya
Yanti mengaku, sampai hari ini, dia belum pernah jatuh cinta. Saat ditanya apakah dia sudah punya target kapan akan menikah. Dengan tegas dia bilang “Belum. Yanti masih belum pengen nikah, Yanti masih pengen menjelajah dunia”.
Bisa dekat dengan sosok Yanti merupakan kebahagiaan tersendiri buat saya. Di balik sifat “aneh” seorang Yanti tersebut, banyak hal yang bisa saya tiru darinya. Sepanjang yang saya kenal, Yanti itu sangat rendah hati. Walaupun dia punya banyak kelebihan, dia sepertinya tidak begitu memperhatikan hal itu. Dia tak pernah tinggi hati. Gayanya sangat cuek dan apa adanya, dia benar-benar menjadi dirinya sendiri, dan dia terlihat enjoy dengan apa yang ia miliki. Melihatnya, saya jadi sadar satu hal, kita tak perlu menjadi orang lain, jika hanya ingin supaya orang lain menerima kita.