Oleh : Hardianti
Dari kejauhan, saya melihat seorang gadis sedang berjalan menuju ke arah saya, gadis itu semakin mendekat. Dia tersenyum ketika sampai di DPR, singkatan dari Di bawah Pohon Rindang, tempat saya berada sekarang. DPR adalah salah satu tempat yang biasanya digunakan mahasiswa untuk mengadakan diskusi, atau sekedar ngobrol. Tempatnya berada di dalam komplek kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, atau tepatnya berada di tengah-tengah antara gedung perpustakaan, aula STAIN, gedung jurusan Dakwah dan parkiran. Tempat ini memang strategis.
Gadis itu tidak langsung menghampiri saya, dia hanya berdiri dan menatap gedung jurusan Dakwah yang tepat berada di depannya. Namun, sesekali melirik ke arah saya. Angin yang bertiup sepoi-sepoi siang itu terasa cukup untuk mendinginkan kulit dari sengatan sinar matahari di bumi khatulistiwa. Sesekali, angin yang sama menerpa ujung jilbab gadis yang berdiri di depan saya itu.
“ Kak Icha udah keluar, Kak?”, dia menanyakan teman dekatnya yang saat ini sedang mengikuti kelas berita.
“ Belom, baru gak jam dua’. Bentar agik kali’. Siniklah lok, tanyak-tanyak sikit. Ficer blom selesai neh, besok agik. Ade kenak ketok“ jawab saya sambil memintanya agar bersedia diwawancarai untuk tugas Feature yang akan kami kumpulkan besok.
“ O iya, sambil nunggu Kak Icha”, katanya sambil terus menatap ke depan, ke arah gedung jurusan Dakwah..
Saya tak sabar, kemudian menariknya untuk duduk di dekat saya. Saat itu, sekitar pukul 14.00 WIB, dia datang ke kampus untuk bertemu dengan temannya, Marisa atau yang biasa kami panggil Icha. Selain itu, dia juga punya janji wawancara dengan Septian, serta ingin menyerahkan tulisannya pada salah satu dosen kami.
Gadis itu duduk tepat berhadapan dengan saya, perawakannya sedang, tingginya sekitar 155 cm dengan berat badan 49 kg. Kulitnya seperti kebanyakan teman-teman saya yang lain, sawo matang. Hal yang paling menonjol dari penampilannya adalah senyum yang manis dan selalu menghiasi wajahnya. Ya, dia murah senyum. Setiap kali dia bertemu saya, atau teman-temannya yang lain, dia selalu tersenyum. Wajahnya tenang, dan anggun. Dia biasa mengggunakan pakaian dengan perpaduan warna-warna kalem. Hari ini, dia menggunakan celana panjang kain berwarna hitam, dipadukan dengan baju berwarna hijau lembut dan jilbab hitam.
Dia juga membawa tas selepang yang tidak terlalu besar, warnanya hitam. Saya melihat dia menggunakan pacar di kuku jari tangan dan kakinya, warnanya jingga, tidak terlalu cerah dan menutupi permukaan kukunya. Lagi-lagi dia tersenyum melihat saya memperhatikannya.
Gadis itu bernama Erika Sulistia Maidaningsih. Dia mahasiswi Jurusan Dakwah,. program studi Bimbingan Penyuluhan Islam atau yang biasa disingkat dengan BPI, angkatan 2007, STAIN Pontianak. Dia tertawa ketika saya katakan bahwa namanya dapat digunakan oleh 4 orang sekaligus. Teman-teman di kampus memanggilnya Erika. Sedangkan di lingkungan rumahnya, dia dipanggil Sulis. Belakangan saya tahu bahwa dia memiliki nama kesayangan, Cuplis.
Di kampus, Erika dikenal sebagai mahasiswi yang pendiam, dia tidak heboh atau suka bikin keributan, seperti kebanyakan teman-temannya, termasuk saya. Oleh sebab itu, jika sedang berkumpul bersama, Erika hanya tersenyum melihat tingkah kami yang heboh dan usil. Teman dekatnya adalah Marisa atau yang biasa kami panggil Icha. Hampir setiap bertemu dengan saya, Erika selalu bersama Icha.
Dia memang lebih banyak diam, tapi jangan tanya soal tugas kuliah dan pekerjaan-pekerjaannya. Dalam diamnya itu, dia telah menyelesaikan semuanya dengan baik, begitu komentar Icha tentang Erika. Saya jadi tersenyum sendiri, mengingat bahwa teman-teman malah menjuluki saya dengan Miss. Last Minutes. Pastinya, ada jurang yang besar di antara kami dalam soal ini.
Kami masih membicarakan soal namanya yang panjang. Erika lagi-lagi tersipu ketika saya minta dia menjelaskan kenapa namanya begitu panjang.
“Ih, kakak nih, kan ada artinya, Kak “, katanya tentang nama panjang yang disandangnya itu..
‘Ika dari Erika artinya pertama, maksudnya anak pertama. Mai itu bulan lahir, bulan Mei, kalo Ning diambil dari nama ibu “, lanjutnya. Saya hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya.
Erika lahir pada hari Rabu Kliwon, 17 Mei 1989, pagi sekitar pukul 08.00 WIB, dari pasangan Subowo dan Sudarning. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya, laki-laki, bernama Deddy Sulistio Wibowo. Saat ini, adiknya duduk di kelas 3 SMA. Proses kelahiran Erika sangat menarik, bahkan unik, begitulah kesan saya.
“ Kakak tau ndak, saya tuh lahirnya bukan di rumah sakit atau di rumah “ katanya mencoba membuat saya penasaran.
“ Ha...? emang laher dimane ?, tak mungkin di halaman’kan ?, hehehehe. “ kata saya bercanda.
“ Ya, ndaklah, kak “, katanya merengut.
“ Trus di mane jak ?”.
“ Di sungai “, jawabnya pendek sambil tersenyum. Kali ini dia berhasil membuat saya sangat penasaran.
“ Di sungai?, Macam mane ceritenye ?”, saya membetulkan posisi duduk saya, bersila sambil memastikan bahwa saya dapat mendengar ceritanya dengan baik.
“ Nah, ceritanya gini. Kata ibu, saya tuh lahirnya di atas ketek-ketek waktu nyebrang di sungai Kapuas. Waktu itu, ibu udah mau melahirkan, tapi belum sempat sampai ke Puskesmas, sayanya udah lahir “ ceritanya sambil tersenyum.
Ketek-ketek adalah sebutan untuk motor air di lingkungan masyarakat tempat dia tinggal. Sebelum kelahiran Erika, ibunya mengalami sakit perut selama 3 hari berturut-turut. Waktu itu tidak ada kendaraan untuk membawa Bu Sudarning, maka ibu inipun digotong oleh warga dari rumahnya. Kemudian, mereka menggunakan ketek-ketek untuk menyeberang ke Nanga Silat menuju Puskesmas. Sebelum sempat sampai ke tujuan, Erika sudah lahir. Proses kelahirannya dibantu oleh para tetangga yang ikut mengantarkan Bu Sudarning. Bayi itupun kemudian dimandikan dengan air sungai Kapuas yang sedang diseberangi. Ketika sampai, perawat Puskesmas hanya tinggal melakukan perawatan medis pasca melahirkan pada ibunya.
“ Sulis dimandikan dengan air sungai Kapuas untuk pertama kalinya lho”, katanya bangga.
Tentu saja dia bangga, tidak semua anak Kalimantan dapat mandi pertama kali langsung dengan air sungai terpanjang di Indonesia itu, bahkan saya pun tidak. Apalagi, orang tua Erika tergolong warga pendatang di Kalimantan Barat. Mereka berasal dari Jawa Timur, ibunya asli Lamongan, sedangkan ayahnya dari Situbondo. Mereka datang sekitar tahun 1985 dengan mengikuti program transmigrasi dari pemerintah Setelah tiba di Kalbar, mereka menetap di dusun Panca Usaha II UPT 4, Desa Miau Merah, Kec. Silat Hilir, Kabupaten Kapus Hulu, hingga sekarang.
Ayah Erika bekerja sebagai karyawan di kantor BKKBN, sementara ibunya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Namun, di sela-sela kesibukan mengurus keluarga, bu Sudarning bertanam sayuran di kebun belakang rumah. Ada terong, kacang panjang, dan Sawi. Nama sayuran yang terakhir sangat berkesan untuk Erika.
“ Ibu tuh kalau nanam Sawi selalu gagal, pertama kalinya sukses waktu nanam sama Sulis, Kak” ujarnya dengan mata menerawang.
Erika sering membantu ibunya menanam dan merawat kebun sayur. Dulu, ketika sempat setahun tidak melanjutkan kuliah setamat dari SMU, dia menghabiskan waktu dengan membantu ibunya, terutama menanam dan merawat kebun sayur. Sementara di sore hari, dia mengajar TPA untuk anak-anak di sekitar lingkungan rumahnya.
Riwayat pendidikan Erika, dimulai dari SDN 18 di UPT 4, Nanga Silat. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, dia melanjutkan ke Pondok Pesantren Al-Jihad Plus di Tepuai, kec. Hulu Gurung. Di pondok pesantren ini, Erika dipercaya oleh koordinator bagian bahasa untuk mengawasi siswa-siswa yang berbahasa daerah agar menggunakan Bahasa Arab dan Inggris atau minimal bahasa Indonesia. Dia juga sering mewakili kelasnya dalam lomba ceramah antar kelas, dan yang membuatnya bahagia, menjelang lulus Erika dianugerahi penghargaan dari bagian bahasa atas keberanian dan keaktifannya berbahasa Inggris dan Arab.
“ Waktu itu senang banget kak, kan saya ndak nyangka. Eh, ternyata dikasi penghargaan “, katanya tersenyum.
“ Ye wajarlah dikasi penghargaan, kan Rika aktif berbahasa Arab same Inggris, jadi pengawas agik “, kata saya.
‘ Ih, gak, kak. Rika cuma sedikit-sedikit, saya juga gak tau, kok di suruh ngawasin yang lain. “, ujarnya merendah. Dia memang rendah hati, tapi saya bisa melihat bahwa gadis di hadapan saya ini memang sosok yang pantas untuk diberikan penghargaan. Setahu saya, dia sangat konsisten dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Kami berdua sama-sama menjadi anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dan terlibat dalam keredaksian buletin WARTA. Saya melihat usahanya yang keras untuk mencari dan membuat berita, serta menyelesaikannya sesuai dengan deadline yang ditentukan oleh pimpinan redaksi. Dari semua itu, saya juga yakin bahwa dia melakukan hal yang sama pada sekolahnya dulu.
Lulus dari pesantren, Erika melanjutkan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Situbondo, Jawa Timur. Sebenarnya, dia ingin ke pesantren Gontor, namun karena beberapa hal, keinginannya tidak terwujud. Selama menyelesaikan sekolah, Erika sempat 2 kali pindah tempat tinggal. Pertama kali dia tinggal dengan Bu Dhe Sup, kakak dari ayahnya. Kemudian dia pindah lagi ke rumah Bu Le’ Ida, adik tiri ayahnya hingga dia menamatkan sekolah.
“ Dua kali pindah selama tiga tahun itu “, katanya menjelaskan
“ Kok pindah ?”.
“ Kan di sana ada kakak sama adiknya bapak, jadi ya tinggal sama dua-duanya “ jelasnya lagi
“ Ade alasan laen kalik ?”, aku mencoba menebak.
“ Ih, kakak nih. Udah ah, jangan nanya soal itu. Yang lain, yang lain “, katanya sambil tersenyum dan memukul lututku.
“ ‘Kan pengen nanya, nih harus lengkap neh “, saya coba meyakinkannya.
“ Yang lainlah, Kak. Aduh kakak.....”.
“ Iyelah, nantik nanges pulak “, saya tersenyum padanya kemudian mengganti topik pembicaraan.
“ Kak Icha.......”, tiba-tiba erika berteriak. Saya menoleh ke belakang dan melihat Icha serta beberapa teman sedang berdiri di selasar gedung Dakwah. Ternyata, kelas berita telah selesai.
“ Eh, kak, udah dulu ya, mau ngasi tulisan sama Pak Yus “, ujarnya seraya berdiri dengan cepat dan meninggalkan saya. Saya sempat bengong melihat reaksinya.
“Ei...., tunggu lok...”, kata saya mencoba menahannya, namun Erika telah berlalu. Kemudian saya melihatnya menghampiri Dr. Yusriadi, dosen yang dimaksudnya. Dia sempat berbicara sebentar dengan Pak Yus, setelah itu memanggil Septian. Seperti saya yang sedang mewawancarainya, Erika juga kebagian tugas untuk mewawancarai Septian. Sebuah tugas berantai yang diberikan pada mata kuliah Feature. Dan, saya tau pasti ini adalah pertanda bahwa saya harus mengejar Erika, seperti Erika yang mengejar Septian, dan seperti Icha yang saat ini tengah menuju ke arah saya. Benar-benar sebuah tugas berantai.
Saya menemukan Erika di kelas BPI IV. Saat itu dia sedang mewawancarai septian yang duduk di kursi dosen.
“ Eh, wawancara kite belom selesai...”, kata saya seraya segera mengambil tempat di sisi meja dosen dan menghadap ke arahnya
“ Tunggu dulu, kak, saya wawancara sama bang Septian dulu “, katanya
“ Eh, Yanti saye mok wawancara nih “, tiba-tiba Icha muncul di depan pintu Suasana wawancara berantai itu menjadi agak kacau ketika Herianto lewat di depan kelas. Septian yang diwawancarai oleh Erika ngeloyor pergi mengejar Heri yang harus diwawancarainya, sedangkan Heri sedang menunggu Badliana yang juga harus diwawancarainya. Sementara itu Ambar dengan setia menunggu Icha, nara sumbernya.
“ Ya, Tuhan, kapan selesainye nih “, kataku putus asa. Icha, Erika dan Ambar tertawa. Wawancara Erika kemudian dilanjutkan, ketika Septian kembali lagi ke kelas karena tak berhasil mendapatkan Heri. Saya menunggunya wawancara, sambil sesekali menggoda Icha dan Ambar.
Setelah selesai dengan Septian, Erika kembali bersedia diwawancarai. Saya lalu menanyakan pertanyaan yang tadi sempat tertunda tentang perasaanya ketika pertama kali datang ke Jawa Timur.
Erika sempat merasa terasing karena jauh dari keluarga, saat pertama kali menginjakkan kaki di Jawa Timur. Namun, semuanya dapat terobati ketika berkumpul dengan teman-teman sejawat yang selalu memberi motivasi dan dorongan semangat. Peran teman-teman memang sangat membantu dia untuk menghadapi perasaan sepi dan rindu pada keluarga.
“ Saya punya beberapa teman dekat. Semuanya lain daerah, tapi kita saling memberi semangat “, kenangnya.
Erika memiliki banyak teman, namun ada enam orang yang menjadi sahabat dekatnya. Keenam orang inilah yang menjadi temannya untuk berbagi cerita dan melepas penat.
“ Ada Siti Kasmi, dari Tuban, terus Sufilailiah dari Situbondo, Nani sama Riki dari Banyuwangi lalu ervin sama Ali dari Bondowoso. Pokoknya kami tuh seru, biasa cerita-cerita “, ujarnya. Dia lalu menceritakan bagaimana mereka bersahabat dan saling memotivasi sebagai satu kelompok yang solid.
Meskipun ada sahabat yang menemaninya, namun gadis manis ini tetap merindukan belaian keluarga, terutama ayahnya. Erika mengaku bahwa orang yang dirasakan sangat berpengaruh dalam hidupnya adalah ayahnya sendiri.
“ Bapak tuh orangnya lembut, tegas dan tidak otoriter. Dia cuma mengarahkan, tapi keputusan tetap diserahkan sama anak-anaknya”, ujar Erika menilai ayahnya. Sosok ayahnya itu terus melekat dalam dirinya, meski dia tinggal berjauhan dengan keluarganya. Saya melihat rona wajah Erika berubah sendu ketika membicarakan ayahnya. Saya pikir dia pasti sangat merindukan kelurganya yang saat ini berada jauh di Nanga Silat sana. Tak ingin berlama-lama dalam situasi mengharukan itu, saya lalu mengganti topik pembicaraan. Kali ini tentang prestasinya.
Prestasi belajar Erika sudah terlihat sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Mulai kelas1 hingga kelas 3 SD, dia sudah berhasil masuk dalam 10 besar urutan siswa berprestasi di kelasnya. Peringkat itu terus beranjak naik, dikelas 4 hingga kelulusan SMA, Erika sukses menyabet peringkat 5 besar di kelas. Selain itu, prestasi non akademiknya juga tak dapat disepelekan. Ketika berada di kelas 2 SMA, Erika berhasil menjadi juara 2 lomba kasidah se Jawa Timur yang diadakan pada 2004 di Madiun.
“ Waktu itu ndak nyangka, Kak, eh ternyata dapat juara. Juara dua sih, tapi senang banget....”, katanya.
“ Kok tak nyangke ?”.
“ Iya, abis yang lain bagus-bagus. Tapi alhamdulillah”, katanya tersenyum. Asyik sekali mendengarnya bercerita tentang masa-masa SMAnya.
Ya, masa SMA memang masa remaja yang selalu meninggalkan kesan tersendiri bagi setiap orang. Kesan yang seringkali tak mudah untuk dilupakan. Begitu pula dengan Erika, di masa inilah pertama kalinya dia jatuh cinta. Dia sempat protes ketika saya menanyakan tentang cinta pertamanya ini.
“ Aduh, kakak nih nanyanya yang aneh-aneh “, komentarnya
“ Ye......kok aneh sih ? Ini serius. Pertanyaan begianian nih harus ade, biar lengkap, name gak profil. Kayak di majalah tuh “, kata saya membela diri.
“ Kakak nih.....”, katanya pasrah.
“ Sikit bah, asal ade jak.....”, saya memberi tawaran.
‘‘ Benaran sedikit ye....”, katanya dengan curiga.
“ Iye-iye”.
Erika lalu bercerita. Dia dan pemuda itu berbeda sekolah. Mereka bertemu pada saat pemuda tersebut beserta keluarganya sedang berkunjung ke rumah Bu Le’ Ida, tempat Erika tinggal ketika itu. Mereka masih tergolong sepupu jauh. Menurut Erika pemuda itu sangat baik padanya.
“ Eit, cie......”, kata saya menggodanya.
“ Tuh’kan kakak ngolok “, ujarnya merajuk.
“ Tadak bah, lanjutlah “, saya tersenyum kalah, takut kalau-kalau dia tak mau lagi bercerita.
“ Tapi jangan diolok lagi, ‘kan udah lewat “, katanya memberi syarat.
“ Iye, ceritelah...”.
“ Orangnya baik, tapi itu pas akhir-akhir kelas 3 kok, ndak lama “, katanya sambil tersenyum-senyum mengenang kisahnya dulu.
“ Cakep ndak ?”, lagi-lagi saya berusaha menggodanya. Tapi kali ini dia tak terpancing.
“ Yah, gimana ya...?. Kalau waktu itu sih cakeplah, namanya juga suka. Tapi kalau sekarang ndak tau ya hehehe...”, jawabnya enteng. Saya lalu menanyakan nama pemuda itu, tapi erika menolak memberitahu. Saya tak mencoba memaksanya.
Mereka tak sempat pacaran, Erika sendiri tak mau pacaran. Perasaannya hanya sampai pada tahap mengendap dalam hati, tak sampai keluar. Semuanya kemudian berakhir ketika Erika menyelesaikan sekolahnya pada tahun 2006, dan memutuskan untuk pulang ke Kalimantan..
Sekembalinya dari Jawa, Erika langsung pulang ke Nanga Silat. Saat itu, dia tidak melanjutkan kuliah. Baru setahun kemudian, tepatnya tahun 2007, dia melanjutkan ke STAIN Pontianak, Jurusan Dakwah, BPI. Erika masih ingat bagaimana pertama kalinya dia datang ke Pontianak. Waktu itu dia diantar oleh ayahnya. Setelah itu, Erika sendirilah yang mengurus segala keperluan setelah ayahnya pulang, termasuk mencari kost.
“ Saya sendiri yang ngurus semua keperluan, soalnya Bapak ndak lama di Pontianak, cuma ngantar “, kenangnya.
Erika kemudian mempersiapakan segala hal yang berkaitan dengan kuliahnya. Pertama, dia mencari tempat kost. Dengan segala pertimbangan, akhirnya dia memilih kost yang dekat dengan kampus STAIN Pontianak, yaitu di Jl. Suprapto V no. 52. setelah memiliki tempat tinggal, barulah gadis ini mengurusi hal-hal lainnya, termasuk mendaftar kuliah dan lain sebagainya.
Dulu, di awal-awal masa kuliah, Erika pernah bekerja di tempat loundry di dekat kostnya, namun hanya bertahan selama 2 bulan. Penyebabnya adalah sistem penggajian yang tidak teratur. Gaji yang sebelumnya dijanjikan Rp 800.000/bulan turun menjadi Rp 500.000/bulan tanpa alasan yang jelas. Menurutnya, jumlah ini tidak sesuai dengan pekerjaan menyetrika yang cukup menguras waktu dan tenaga.
“ Awalnya dijanjikan 800.000 tapi turun jadi 500.000”, katanya.
“ Kok bise ?”.
“ Ndak tau, makanya berhenti”.
“ Oh, gitu ye “, kata saya menanggapi ceritanya.
Sekarang ini, setelah berhenti dari pekerjaannya, Erika lebih memfokuskan diri untuk kuliah dan mengembangkan potensinya di berbagai bidang. Untuk itu, dia mengikuti sejumlah organisasi kemahasiswaan, diantaranya Himpunan Mahasiswa Jurusan (HJM) Dakwah, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Dakwah dan LPM.
Bicara soal kuliah, Erika mengatakan pada saya bahwa dia sempat pesimis dengan kuliahnya. Namun, semangat dan motivasi teman-teman di kelas membuat dia yakin bahwa pilihannya memang tepat, salah satu teman yang selalu memberikan motivasi padanya adalah Marisa atau Icha. Karena itu pulalah prestasi belajar gadis yang menyukai semua mata kuliah ini dapat terjaga dengan baik. Semester kemarin dia berhasil mengantongi IP 3,71.
“ Sempat ngerasa pesimis juga. Saya tuh bingung, setelah selesai nantinya mau gimana, ‘kan lapangan pekerjaannya ndak jelas “, katanya
“ Tapi, ya itu, Kak, kawan-kawan di kelas suka ngasi motivasi sama saya, terutama Kak Icha. Ya, kak.....”, lanjutnya seraya meminta persetujuan Icha yang duduk di dekatnya. Icha hanya tersenyum.
Erika sangat menyukai warna krem, perpaduan antara warna coklat dan putih. Sedangkan soal makanan, dia tidak menyukai udang. Pada beberapa kesempatan makan bakwan bersama, Saya dan Marisa selalu berebut duduk di samping Erika, sebab Erika akan memberikan udang yang ada di bagian atas bakwan kepada kami. Kami berdua menyukai udang. Makanan favorit Erika adalah nasi dengan lalap, ikan asin dan sambal terasi yang dihidangkan hangat. Saya sempat terkejut, karena tiba-tiba Erika agak meninggikan suaranya.
“ Jadi ingat kampung...”, teriaknya tiba-tiba saat menceritakan makanan tersebut. Uh...memang menggoda selera, saya pun dibuatnya makin lapar. Perut yang tadinya bisa diajak kompromi sekarang malah bernyanyi pilu.
Kami berdua sepakat untuk tak mau berlama-lama bicara soal makanan. Agak sensitif membicarakannya di waktu siang begini. Lalu, saya pun menanyakan tentang dosen favoritnya. Ada dua orang yang paling dia sukai, meskipun semua dosen juga ia sukai.
“ Pak Wajidi sama Pak Yusriadi “, katanya cepat.
“ Wow....”, kata saya menanggapi.
“ Emang kenapa, Kak ?”, tanyanya
“ Alasannye ape ? “, saya menjawabnya dengan pertanyaan lagi.
“ Pak Wajidi tuh ahli Tafsir dan Hadits, Saya suka masalah-masalah tentang agama”, jawabnya.
Dia juga menyukai penampilan Dr. Wajidi yang rapi dan pembawaannya yang serius, meski tak jarang pula dosen tersebut bercanda di kelas. Berbeda dengan caranya menyukai Dr. Wajidi, Erika malah menyukai Dr. Yusriadi karena orangnya kelihatan santai. Selain itu, dosen ini mengajarinya cara menulis dengan baik. Namun, faktor yang paling mengesankannya adalah tawa Pak Yus, begitu dia sering kami sapa.
“ Pak Yus kalo ketawa kayak Bapak saya “, ungkapnya.
“ Emang tawaknye gimane ?”, tanya saya
Erika pun mempraktekkan cara dosen itu tertawa. Saya tersenyum melihatnya, ternyata dia begitu memperhatikan dosen kami ini.
Kemudian, saya memintanya bercerita tentang masa kecilnya. Rasanya saya belum menanyakannya tadi. Ternyata, waktu kecil, Erika suka menari, juga bermain lompat tali, dan gambar. Tapi siapa yang menduga kalau gadis feminim di depan saya ini ternyata juga suka memanjat pohon. Saya hanya terbelalak mendengarnya, membayangkan tubuh kecilnya dulu sedang memanjat sebuah pohon besar.
“ Di dekat rumah saya tuh ada pohon besar, Kak, nah di pohon itu tuh saya suka manjat “.
“ Ya, ampun....tak nyangke dah. Emangnye pohon ape ?”, tanya saya
“ Ndak tau juga ya itu pohon apa, pokoknya, ingat waktu kecil tuh suka manjat pohon.sama teman-teman, lucu”, ujarnya sembari tertawa
‘‘ Tak disangke, ginik-ginik ternyate tomboy “, komentar saya.
“Ih, emang, Kak. Dulu saya juga punya musuh “.
“ Wah....musuh ?, Cewek ke cowok ?”.
“ Cowok, namanya Eko Suharyanto”.
“ Kok bise sampai jadi musuh ?”.
“ Abis dia suka caper, suka ganggu saya. Sekarang dia kuliah di IAIN Walisongo, Semarang “ dia menjelaskan tentang musuhnya. Caper yang dimaksudnya adalah cari perhatian. Menurut Erika, hampir setiap hari Eko mengganggunya, dan setiap kali itu pula mereka bertangkar. Namun sudah bertahun-tahun ini mereka tidak pernah bertemu.
“ Kalo ketemu masih jadi musuh dak ?”.
“ Ya ndak tau. Kayaknya ndaklah, kan udah besar, masa’ masih musuhan “. ujarnya.
Selain musuh dan teman teman, Erika juga pernah mengalami kejadian yang memalukan waktu kecil. Pada hari Kartini, Erika dan teman-temannya disuruh menyanyikan lagu Kartini. Dengan semangat membara, Erika pun bernyanyi. Suaranya keras mengungguli teman-temannya, sayang lirik lagu yang dia nyanyikan salah semua. Akhirnya Erika menjadi siswa yang menyanyi dengan suara paling keras, sekaligus paling salah. Akibatnya, Erika dihukum. Gadis itu tertawa mengingat kejadian tersebut.
“ Padahal udah semangat saya, Kak. Eh, ternyata salah, karena suara saya paling keras, jadi salahnya kedengeran”.
“ Trus gimanelah ?”, tanya saya penasaran.
“ Ya dihukum pulangnye”.
“ Hehehehe abis pe de sih, udah tau salah, paling nyaring agik “, kata saya menggodanya.
“ Namanya juga masih kecil “ katanya membela diri.
Tak lama kemudian, saya melihat Erika memegang tasnya, dan saya tertarik untuk menanyakan isi tas gadis ini.
“ Ada buku, pulpen, sama dompet “, jawabnya.
“ Kosmetik ?”, tanya saya.
“ Ndak ada “, jawabnya lagi.
“ Oh....”.
Entah kenapa jawabannya yang terakhir membuat saya lega. Paling tidak, sekarang saya tahu bahwa ada banyak juga mahasiswi yang tidak membawa peralatan kosmetik di dalam tas, setelah beberapa nama yang saya kantongi. Soal buku, saya tidak heran, sebab tempat nongkrong favoritnya adalah perpustakaan. Kami menyudahi pembicaraan sekitar pukul 15.10 WIB. Icha telah menunggu saya, lengkap dengan sebuah buku catatan dan pulpen. Sekarang mungkin giliran saya yang diperlakukan seperti Erika, sekali lagi, ini memang tugas berantai, khas mata kuliah Feature.
Comments :
0 komentar to “Erika, Gadis yang Lahir di Atas Sungai Kapuas”
Posting Komentar