Oleh : Erika Sulistia M
Jam menunjukkan pukul 02.00 sore, hari itu adalah hari Selasa, cuaca waktu itu sangat bersahabat tidak panas dan juga tidak dingin. Dari luar terlihat beberapa mahasiswa KPI semester IV keluar dari gedung Dakwah lantai atas.
“Plak, plak, plak” terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga.
“Rika, itu Septian. Katanya dia siap kalau mau diwawancarai” kata Pak Yusriadi, yang tidak lain adalah Dosen pengampu mata kuliah Berita dan mata kuliah menulis lainnya..
Saya melihat dia masih berdiri di depan gedung dakwah sampil memegang dan mengotak-atik Hpnya, rupanya dia lagi SMS-an. Dia memakai kemeja pendek, celana kain panjang, rambut yang tersisir rapi plus sepatu dan kaos kaki. Dia terlihat begitu rapi dan memberikan ciri seorang mahasiswa. Dan tidak lupa tas ransel yang menempel di punggungnya yang selalu setia menemaninya setiap hari ketika kuliah.
“Bang, saya mau wawancara ada waktu tidak ?” tanyaku.
“Ada, di mana ?” jawabnya sambil menyatakan kesediaannya.
“Di kelas sini saja, bang !” kemudian saya mengambil kursi.
Saat itu suasana ruangan sepi, hanya kami berdua. Tetapi beberapa menit kemudian datang kak Hariyanti, kak Linda, kak Marisa, kak Badliana dan bang Heriyanto. Mereka juga lagi melakukan apa yang saya lakukan yaitu wawancara. Suasana yang tadinya hening berubah menjadi ramai, karena selain wawancara kami juga sambil bergurau.
“Septian” atau “Sep” atau juga “Tian” begitulah teman-temannya memanggilnya. Sedangkan nama aslinya adalah Septian Utut Sugiatno. Dia lahir di salah satu pulau kecil di dekat pulau Jawa yang terkenal dengan budaya Karapan Sapi, yaitu pulau Madura, pada tanggal 12 September 1988.
Dia pernah menolak dipanggil dengan panggilan Septi oleh Erni, teman sekelasnya, Septian bilang dan meminta Erni, dan berkata :
“Kak jangan panggil aku Septi lah, panggil Tian jak lah” jelas Erni, dengan menirukan gaya Septian.
Suatu nama pasti mempunyai makna. Begitu pula dengan nama lengkap Septian sendiri. Nama yang diberi oleh ayahnya dengan latar belakang, bahwa ketika ayahnya masih seusianya atau masih muda, beliau sangat mengidolakan Septian, yaitu seorang pelawak yang mempunyai gerak pantonim dan nama Utut, diambil dari nama seorang pencatur dunia yaitu Utut Hardiyanto. Sedangkan Sugiatno adalah nama ayahnya sendiri, yang juga diberikan kepada saudara-saudaranya yang lain.
Septian dibesarkan dalam keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya bernama Sugiatno dan Ibunya bernama Sri Hartati. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya masih duduk di bangku sekolah. Kedua adiknya bernama Dimas Ardiansah Sugiatno masih duduk di bangku SMA, dan Dian Nuramatila Sugiatno yang masih di bangku SD.
Dari semenjak SD ayahnya selalu mendidiknya hidup sederhana, hal ini tidak hanya faktor kondisi perekonomian keluarganya yang pas-pasan.
“Ayahku dulu seorang karyawan perusahaan garam, atau bahasa kasarnya adalah kuli. Tetapi Alhamdulillah dengan keuletan dan kesabarannya, kini ayah menjadi salah satu pimpinan perusahaan Garam cabang Pontianak”, dia berkata dengan mata berbinar-binar.
Septian menyelesaikan Sekolah Dasarnya pada tahun 2000, di SD Timur I Kali Anget Timur Kabupaten Sumenep. Kemudian melanjutkan ke SLTA yang masih dalam naungan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Amin Renduan Kabupaten Sumenep. Dan lulus tahun 2003. Tingkat SMA Dia tetap melanjutkan sekolah di SMA Ponpes Al-Amin hingga tahun 2006. Dan kemudian hijrah ke Kalbar yaitu Pontianak, dan melanjutkan kuliahnya di sana. Di salah satu perguruan tinggi Islam yaitu STAIN Pontianak sampai sekarang.
Perjalanan hidupnya pun sama, lazimnya orang-orang lain penuh dengan rintangan dan cobaan, ada hal-hal yang menyedihkan atau membahagiakan, ada suka dan duka.
Ketika duduk di bangku SD, dia terkenal dengan salah satu murid yang sangat pendiam dan pemalu. Dia pun sering diejek oleh teman-temannya yang lain. Hal ini terjadi hingga ia duduk di bangku SLTP. Ironisnya, jika di SD ia hanya terkenal pendiam, di SMP diejek habis-habisan oleh temannya, jika dikaitkan dengan trend sekarang dapat disebut “cupu”.
“Dulu saya orangnya sangat pendiam, sehingga saya di identikkan dengan anak yang patuh dan taat kepada guru atau siapapun. Karena sifat yang penurut, saya susah sekali menolak perintah seseorang walau terkadang itu menyakitkan hati. Terus saya sering diejek bodoh, idiot dan sebagainya hal itu yang membuat saya minder sama mereka yang lain”, ia bercerita sambil tersenyum mengingat masa lalunya.
Terkadang rasa manusiawinya muncul yaitu ingin melawan, tetapi hal itu diurungkannya setelah melihat teman yang mengolok-oloknya lebih besar badannya dari dirinya, dan juga mempunyai sifat yang sabar.
Hal yang membuatnya sangat terpukul dan sedih ialah ketika semua teman-temannya menjauhinya ketika dia tertimpa musibah, yang berupa penyakit kulit seperti cacar, kutil, ataupun korengan. Saat itulah ia mengalami duka yang amat dalam, tetapi ia tetap sabar dan tawakal.
“Biasanya jika saya mendapat hal-hal yang buruk, saya selalu menumpahkan semua kesedihan dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an setiap malam dengan menangis”, matanya kembali menerawang ke masa lampau.
Septian juga seorang manusia biasa, di balik ketabahan dan kesabaran, dia juga mempunyai perasaan sedih yang sewaktu-waktu dapat tumpah dengan linangan air mata.
Tetapi dia tidak hanyut dalam kesedihannya, ia kemudian membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing dengan teman-temannya yang lain, dengan mengikuti lomba tilawatil Qur’an mewakili kelas yang diadakan oleh Muhammadiyah, ia mendapat juara tiga. Itulah langkah awal dia mencoba merubah hidupnya.
Duduk di bangku SMA, banyak pengalaman dan pengetahuan yang lebih dia dapat daripada waktu SMP, waspadapun sifat diamnya masih tetap melekat di dalam dirinya, tetapi dia aktif di berbagai kegiatan dan perlombaan.
Contohnya saja dia pernah menjadi ketua bidang keterampilan dan kepramukaan, ketua umum jami’atul Qura, ketua fasilitator kamar.
“Saya lebih terkesan ketika Pramuka, karena saat itu kawan-kawan mulai berubah terhadap saya, lebih menghormati saya, ya…. tidak mengejekku lagi” jelasnya dengan semangat.
Selain itu perlombaan yang pernah dia ikuti lomba Nasyid se-Indonesia dengan mendapat juara 1, mendapat tawaran lomba Qori, juga mendapat juara satu dalam rangka memperingati Ultah Ponpes Al-Amin yang ke setengah abad, mengikuti Jambore se-Madura, ikut Sanggar Teater Komedi mendapat juara 1.
“Apa yang Bang Septian rasakan saat itu ?”, tanyaku.
“Aku sangat bahagia, karena mental, perilaku dan keberanian dalam diriku mulai muncul. Dan aku sangat bersyukur kepada Allah, dengan keadilan-Nya semuanya menjadi berubah”, jawabnya dengan senyum yang terpancar dari wajahnya begitu bahagia. Lalu dia berkata lagi,
“Semua tawaran itu ku terima tidak aku sia-siakan begitu saja, dan waktu di SMA saya mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya”.
Selain prestasi di atas yang dia raih, salah satu prestasi yang membanggakan adalah, suatu karunia Allah yang diberikan kepadanya hingga ia mempunyai kemampuan untuk menghafal al-Qur’an. Subhanallah.
“Saya sangat mengidolakan Nabi Muhammad dan juga kedua orang tuaku”, paparnya.
“Mengapa Abang mengidolakan mereka ?”, tanyaku.
“Ya … karena Nabi Muhammad mempunyai sifat sabar, tawakal dan tidak pantang menyerah menghadapi ancaman maupun hibaan dari kaum kafir Quraisy dan sebagainya. Sedangkan kedua orangtuaku mereka sangat gigih dalam mendidik anak-anaknya, orangnya tegas dan bijaksana serta tidak mengekang saya dan adik-adik aku sebagai anaknya”, jawabnya bangga.
Rupanya motivasi dari seorang tokoh yang dia idolakan, juga salah satu menjadi motivator yang sangat penting dalam hidupnya. Kesungguhan merubah sikap pada dirinya merupakan usaha yang sangat luar biasa jadi teringat dengan firman Allah dalam al-Qur’an Qs. Ar-Rad ayat 11. Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, sampai kaum tersebut merubah nasib kaumnya sendiri.
Setelah lulus dari bangku SMA, dia tidak langsung ke KalBar, niat dalam hatinya ingin melanjutkan hafalan al-Qur’annya di Jawa, yaitu dengan mengambil jurusan Tahfidz Qur’an. Manusia hanya bisa berniat dan berusaha, tetapi Allah lah yang menentukannya. Begitu pula yang terjadi dengan diri Septian. Kedatangan maupun keberangkatannya ke kota Pontianak merupakan suatu hal yang tidak terduga.
Ayahnya yang di pindah tugaskan ke Pontianak oleh perusahaan ketika dia kelas tiga SMA, menyuruhnya agar ikut bersamanya. Sedangkan ibu dan kedua adiknya menyusul ayahnya terlebih dahulu.
“Yah, apa boleh buat. Mau tidak mau, saya harus menyusul juga kedua orangtua dan adikku ke Pontianak, dan akhirnya saya melanjutkan kuliah di STAIN. Sekarang ini, walaupun sebelumnya saya sempat pernah menolak”, kata dia.
“Terus, apakah dulu Abang tidak pernah berfikir, untuk merantau, maksudnya ke luar pulau Jawa ?” tanyaku kembali.
“Pernah sich …, tapi dulu waktu saya masih kecil. Saya sempat berfikir ingin keluar dari Pulau Madura. Waktu itu aku main-main peta, kemudian saya menunjuk salah satu pulau yang besar, dan itu rupanya Pulau Kalimantan”, jawabnya. Maha besar Allah keinginan semasa kecilnya yang tidak terduga, dikabulkan oleh Allah SWT.
Awal masuk STAIN Pontianak, dia mengatakan bahwa perasaannya tidak karuan, grogi dan lain-lain. Dan dia pun merasa asing sekali. Yang sangat mengherankan, waktu di SMA dia begitu percaya diri, tetapi ketika daftar kuliah di STAIN dirinya menjadi nervous.
“Wah, ketika itu saya benar-benar grogi, seakan-akan saya hanya menemukan 10 persen dari jati diriku”, ia berkata dengan mendramatisir.
Jika ada gelombang pasti ada angin, dan jika ada akibat pasti ada sebab. Itu sudah merupakan hukum alam. Septian merasa seperti itu pasti ada sebabnya. Kemudian saya bertanya.
“Mengapa Abang nggak percaya diri?”.
“Soalnya ketika waktu pendaftaran di Akademik, aku sempat berkenalan dengan salah satu mahasiswa yang juga baru mendaftarkan diri ke STAIN. Dia mengatakan bahwa dirinya pernah belajar Kitab Balaghah, dan kitab-kitab kuning lainnya. Dan itu membuat saya minder”, jawabnya dengan tertawa kecil.
“Kemudian dalam hati saya bertanya, “Apakah saya bisa bersaing dengan para mahasiswa lainnya dan dapat berprestasi ?”, tetapi hati kecilku terus berkata, “ah, tidak ! Saya pasti bisa”, terus saya meyakinkan diri”. Sambungnya panjang lebar.
“Setelah Abang masuk kuliah, apa yang ada pada perasaan Abang selanjutnya ?” tanyaku lagi.
“Apa yang saya pikirkan tidak semuanya benar, walaupun ada persaingan dengan kawan-kawan, tetapi tidak seberat apa yang saya bayangkan. Biasa-biasa kok”, jawabnya santai.
Septian masuk ke STAIN mengambil Jurusan Dakwah, Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), dia orangnya rajin dan ulet, tidak males. Semua ini dia perlihatkan melalui beberapa kegiatan yang dia ikuti dengan aktif, selain menjadi mahasiswa akademis. Pernah menjabat sebagai Komisi Pemilihan Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Dakwah (KPU HMJD) saat semester dua, dan kini masih menjabat sebagai Staf Pendidikan di HMJD, sebagai wakil sekretaris umum P3A himpunan mahasiswa Islam (HMI) Dakwah, ketua divisi (Kadiv) Lipbang, dan salah satu Presenter TV STAIN.
Wah, tidak bisa membayangkan bagaimana sibuknya dia, untuk membagi waktu kuliah dengan kagiatan-kegiatan yang dia geluti. Walaupun demikian dia menyempatkan diri untuk bermain bola volly bersama teman-teman yang lainnya ketika sore, walaupun tidak setiap hari. Pernah suatu sore ada teman yang berkata.
“Wah, Septian mainnya kayak cewek”, celetuk mereka.
Dia menanggapinya hanya dengan senyuman. Maklum saja, jika mereka nyeletuk begitu soalnya Septian masih amatiran dalam main volley, ya … begitu juga dengan beberapa teman yang lainnya.
Jika diamati, tingkah lakunya dari dulu hingga sekarang masih tetap pendiam. Hal ini sama seperti yang diutarakan Erni.
“Septi tu anaknya pendiam. Mungkin dia ingin menjaga hafalannya. Tapi walaupun begitu, dia anaknya sangat humoris, cara kerjanya teliti walaupun agak lamban. Orangnya pintar, sabar dan aku paling suka dengan puisinya”, jelas Erni.
“Emang puisinya seperti apa? apa mempunyai makna yang mendalam?” tanyaku.
“Iya, puisinya banyak menceritakan tentang kehidupan, tetapi disajikan dengan kata-kata kiasan”, jawabnya. Lalu berkata, “Dan aku sering nyebut dia Pak Gito, karena dia mempunyai kharisma seperti Pak Gito, sampai-sampai ada seseorang yang segan sama Septi, eh…eh…eh… bukan segan, tapi cinta tau” katanya, setiap kali kami bergurau”.
Diam-diam rupanya Septian punya pengagum rahasia. Dan jika benar diamnya untuk menjaga hafalannya, Subhanallah. Biarpun dia pendiam, tetapi dia selalu aktif dalam diskusi maupun acara-acara seminar, selalu bertanya dan itu menunjukkan bahwa dia juga seorang mahasiswa yang kritis.
Jadi, Septian sosok mahasiswa yang pendiam, tetapi dia bisa menempatkan diri, di mana dia harus diam dan berbicara. Walaupun berbicara hanya seperlunya saja. Walaupun dulunya dia dianggap culun, tetapi dengan sabar dan berusaha dia dapat menuai dan meraih suatu kebahagiaan.
Beberapa hari berikutnya, di sore yang indah. Walaupun langit sedikit dihiasi oleh mendung, dan dedaunan yang masih meneteskan air bekas hujan sebelumnya. Saya sempat bertanya-tanya lagi kepada dia.
“Apakah Abang mempunyai motto hidup ?”
“Apa ya? tidak tentu”, jawabnya, dan diam sebentar “Barang siapa menanam pasti menuai”.
“Dan, apa prinsip abang ?”
“Jangan pantang menyerah, bangkit terus walau hasilnya sedikit lama-lama kan jadi bukit”, jawabnya dengan santai.
Dengan motto dan prinsipnya di atas, merupakan suatu hal yang mendorongnya tetap bersemangat dan tidak pantang menyerah. Walaupun dia pendiam tetapi menjadi mahasiswa diam tapi aktif.
Septian masuk ke STAIN merupakan suatu hal yang tidak sengaja, karena dia awalnya berkeinginan untuk melanjutkan tahfid Qur’annya. Tetapi Allah berkehendak lain, memilik program studi KPI merupakan pilihan dari dalam lubuk hati nuraninya, sekalipun dia ketika ujian harus berfikir memilih BPI atau KPI. Mengingat, menimbang dan akhirnya memutuskan dirinya lebih memilih ke KPI, dikarenakan kemampuan ataupun bakatnya lebih dominan ke KPI.
Di prodi KPI, banyak mempelajari tentang bidang perkomunikasian yaitu dunia berita maupun kepenulisan.
“Apakah Abang suka menulis ?” Tanya saya.
“Menulis, dulu awalnya saya tidak suka menulis, dan akhirnya saya menyukai menulis, karena berkat bantuan Pak Yusriadi sebagai dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia, Berita dan sebagainya. Yang memperkenalkan menulis kepada saya,” jawabnya dengan nada senang.
Setiap mempunyai jiwa yang pantang menyerah, hingga saat ini dia tetap berlatih terus dan menerus menulis dan menjadi salah satu reporter TV STAIN, ungkapnya di awal tulisan.
Dia mempunyai makanan favorit. Kemudian ia pun berkata.
“Dulu waktu saya mondok suka makan Tahu dan Tempe”, lalu berfikir sejenak untuk mengingat-ingat makanan favoritnya. Dan terus saya desak, dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Masa Abang tidak punya makanan favorit?” saya bertanya dengan menyelidik, karena saya yakin di pondok makanannya sedikit terbatas.
“Apa ya ? O … ya, soto,” jawabnya “Saya paling suka soto soalnya enak banget, apalagi jika ibu sendiri yang membuatnya”. Dia mengutarakan sambil tersenyum dan memuji-muji soto buatan ibunya.
Walaupun selain ia terkenal pendiam di kalangan kawan-kawannya, dia juga dikenal jika sekali berbicara itu sangat mantap, orangnya suka mengalah, tidak menyukai perdebatan yang menimbulkan cek-cok akhirnya, ya … karena itu dia sering mengalah dan tidak banyak menuntut,” ungkap salah seorang Abang senior (As). “Ya … saya merasa apa yang dilakukannya itu benar, toh mengalah bukannya kalah”, imbuhnya.
As berkata seperti itu, karena ia selalu melihat jika dalam rapat atau memutuskan masalah dalam organisasi Septian lebih bersifat mengalah. Walaupun dia sudah banyak mengeluarkan pendapat.
Di bidang olahraga Septian sangat menyukai bulutangkis atau badminton. Karena sarana dan prasarana sekarang yang kurang mendukung, dia pun lebih sering mengikuti atau bermain Bola Volly atau Basket di kampus.
Sedangkan hobbynya yang lain berupa melagukan bacaan-bacaan ayat suci al-Qur’an dan itu sudah jelas bahwa dia adalah seorang Qori’, walaupun akhir-akhir ini hobbynya itu sedikit memudar, karena jarang dia lakukan, bisa saja dikarenakan dia sibuk dengan hal-hal yang lain.
“Pernah jatuh cinta nggak Bang ?” saya bertanya dengan nada pelan.
“Pernah, dari dulu sampai sekarang”, jawabnya tersenyum. Kemudian berkata “Tapi sayang cintanya nggak sampai-sampai”.
Wah … Septian juga diam-diam mencintai seseorang, tapi tidak dia utarakan. Kalau niat untuk mengutarakannya dia sudah ada jika tingkah laku maupun sikapnya dapat berubah. Tetapi niat itu diurungkannya karena “Si dia sekarang udah nggak ngasih kesempatan”. Dia mengutarakan dengan mata yang menerawang.
Untuk Dosen favoritnya Septian tidak tahu siapa Dosen favoritnya sesungguhnya, tetapi dia menyebutkan kriteria seorang Dosen yang sangat dia harapkan.
“Sosok dosen yang saya idolakan adalah yang berilmu tinggi, selain itu tidak sungkan-sungkan membagi atau memberi ilmunya kepada mahasiswa, orangnya sabar dalam mengajar walaupun mahasiswanya masih rendah sekali pengetahuannya, tidak otoriter, dan bisa mengayomi anak didiknya”.
Begitulah sekelumit profil tentang Septian Utut Sugiatno yang mempunyai pendirian tetap semangat, pantang mundur, tetap berprestasi tidak menjadikan cercaan maupun ejekan sebagai penghambat dirinya untuk berprestasi. Biarpun dia mempunyai sosok pendiam, tetapi dia dapat menjadi tauladan, yaitu dengan keaktifan dia di bidang akademis maupun aktivis, serta kritis.
Terakhir seperti yang diungkapkan oleh mahasiswa yaitu Marisa dia mengatakan “Septian itu orangnya pendiam, tetapi di balik itu dia punya pikiran yang idealis, orang tidak malu untuk bertanya tentang apa-apa yang belum dia ketahui”.
Comments :
0 komentar to “Septian; Menuai Kebahagian Lewat Kesabaran”
Posting Komentar