Oleh : Ambaryani
Gadis kelahiran Maktangguk kecamatan Tebas 8 Maret 1984 itu, bernama Marisa. Ica sapaan familiar Marisa. Ica anak kedua dari empat bersaudara. Ica menghabiskan masa kecilnya di kampung halamannya, sejak ia duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Ica adalah mahasiswa Dakwah program studi Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) angkatan 2007. Kami memang tidak berada di satu Program Studi, tapi kami dalam keseharian terbilang cukup dekat. Aku sudah mengenalnya beberapa tahun silam sebelum ia berpredikat sebagai mahasiswa.
Aku mengenalnya di rumah salah satu temanku, 4 tahun silam. Saat itu aku sedang mengikuti kajian rutin setiap hari minggu. Saat itu ia muncul dari balik pintu. Aku yang berada di teras sedikit mengerutkan dahi.
”Siapa ya? Rasanya aku belum pernah mengenalnya?”, tanyaku dalam hati saat pertama kali melihat Marisa.
”Kenalkan ini Marisa teman saya”, temanku memperkenalkannya pada kami.
”O! Namanya Marisa?” aku bergumam.
”Tingal di mana Kak?” saat itu, aku memangil Marisa dengan sapaan kakak. Ya waktu pertama kali kami bersua aku memang memangilnya kakak. Walaupun aku tak tahu pasti berapa usianya, tapi menurutku dia lebih senior dari ku. Entah apa jawaban Ica waktu itu, aku lupa.
Aku yakin dengan anggapanku, karena hal ini tampak dari raut wajahnya yang tampak dewasa dulu. Usai kajian aku lantas bertanya pada temanku.
”Siapa tu kak? Ko’ Ambar ngak pernah ngeliatnya?”, aku bertanya, penasaran.
”Marisa? Teman saya, adiknya pak Risan bah!”, jawabnya.
”O......”, ternyata dia adik salah satu guruku di SMA.
”Udah selesai sekolah kak?”, lagi-lagi aku bertanya.
”Udah”, ia menjawab singkat.
”Lah sekarang? Ngak kuliah?” tak puas dengan jawaban itu aku lantas bertanya lagi.
”Sekarang dia kerja di Arang Limbung”.
Tak sadar aku menganguk-angukkan kepalaku tandanya setuju tapi aku tak fokus lagi pada temanku yang dari tadi pasrah menjawab pertanyaan yang kuajukan. Aku terus mengamatinya (Marisa).
***
Itu 4 tahun silam. Aku juga tak menyangka. Pertemuan yang hanya sekali itu, akan berujung pada persahabatan. Kami bertemu lagi di kampus. Dan sekarang, ia menjadi sahabatku.
Walaupun sudah cukup lama tengang waktu saat kami pertama kali bertemu dulu, tapi aku tak lupa dengan wajahnya bahkan aku pun tidak lupa dengan namanya. Saat pertama kali aku bertemu denganya di kampus, aku langsung ingat, namanya Marisa.
Beberapa bulan setelah kami kuliah, dan setelah bertanya sana sini (verifikasi) untuk mencari kepastian, bahwa itu memang benar Marisa yang kukenal dulu. Aku bertanya lagi pada temanku.
”Kak yang adiknya pak Risan tu.....”, belum selesai aku bicara langsung disambut oleh temanku.
”Marisa?” ujarnya.
”Ya bener”,aku menyahut.
”Dia kuliah di STAIN ke kak?”, aku bertanya.
”Ya! Dia sekarang kuliah di STAIN”, jelasnya.
”Satu jurusan tu dengan Ambar, tapi tak satu program studi”, aku menjelaskan.
”O... Ya kah?”, dia balik bertanya.
”Benar lah! Masak Ambar bohong”, aku menangkis keterkejutanya.
”Kak seperti apa sih karakter Ica?” aku bertanya pada wanita yang cukup dekat dengan Marisa.
”Ica orangnya sabar, kadang ia bersikap kekanak-kanakan, kadang dewasa, tapi Ica bisa menempatkan diri. Ica juga tipe-tipe orang yang mau belajar, dan satu lagi suka membantu”, hanya itu yang saya ketahui dari Ica dan pembicaraan itu pun berakhir.
Setelah yakin dengan informasi yang kudapatkan, kesokan harinya aku tanpa ragu lagi lantas menyapanya.
”Marisa kan?”, aku bertanya dengan gaya sok akrab.
”Ya benar! Mang siapa?”, Marisa tampak gugup.
”Kenalkan Ambar, dulu kita penah ketemu di rumah kak Jaleha”, aku mencoba mengingatkannya.
”O ya, baru saya ingat”, sahutnya.
”Masih sering ketemu ka Jaleha?”, Ia bertanya.
”Masih, Ica?”, Aku kembali bertanya.
”Pernah si, tapi jarang sekali”, ia menjawabnya dengan jujur.
Sejak itulah kami jadi sering bertegur sapa dan hubungan persahabatan kami terjalin dengan baik.
***
Dari segi usia Marisa lebih senior dibandingkan aku. Walaupun dia adik tingkatku, tapi ada hal yang sangat kukagumi darinya. Ica begitu ia disapa di lingkungan kampus, memiliki semangat yang cukup tinggi. Ia tidak minder walaupun di kelasnya ia bisa terhitung sebagai mahasiswa senior. Tetapi Ica bisa berbaur dengan mahasiswa lain (teman-temanya) yang usianya relative lebih muda, ini hal yang luar bisa. Malahan kini, kesan dewasa yang kutemukan dulu, nyaris tak kutemukan lagi. Dia menjadi sosok mahasiswa yang sama dengan teman-teman sekelasnya.
Teman-teman sekelas Ica menyapanya dengan sapaan kakak. Pasti teman-teman Ica memiliki alasan tersendiri selain usia yang melatar belakangi mereka menyapa Ica dengan sapaan kakak. Tidak hanya di kelasnya saja, Ica disapa kakak oleh hampir semua mahasiswa di jurusan lain yang mengenalnya.
Tak jarang juga, teman-teman di kampusnya yang belum tahu siapa Marisa mengira Ica adalah mahasiswa semester atas. Bahkan berkali-kali teman sekelasku menyangka Ica kakak tingkat (senior). Mereka bahkan tak pecaya waktu aku bilang kalau Ica adik tingkat kami.
“Mbar, kawan Ambar tu semester berapa? Semester VIII ke?”, Lilis sahabatku di kelas bertanya saat kami aku, Lilis dan Ica belajar dalam satu kelas.
“Bukan Lis!!! Dia itu adik tingkat kita!”, aku membalasnya.
“Ha benar lah? Kok kayak kakak tingkat?”, Lilis terus bertanya karena merasa penasaran.
“Iya, dia itu dulu nggak langsung lanjut kuliah”, aku menjelaskan kembali dan barulah Lilis terdiam seraya memperhatikan Ica. Moga saja Ica waktu itu tidak sadar kalau Lilis sedang memperhatikaya. Aku takut kalau Ica sadar, ia jadi salah tingkah (salting).
***
Ica yang suka membaca ini, rupanya mudah dan cepat akrab dengan banyak orang. Ica tergolong sangat pandai membina hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Ica memang ramah dengan semua orang.
Hal ini dibenarkan oleh teman sekelasnya Saparida. ”Kak Ica tu kalau berteman tidak pernah memilih orang. Kak Ica ramah dengan semua orang, baik, juga perhatian”, tutur Saparida. Selain itu menurut Saparida, Ica termasuk mahasiswa yang aktif saat proses belajar mengajar berlangsung.
”Ica, asal di dekat Yanti pasti ketawa, tapi Ica juga luar biasa”, kata Hardianti, temanku yang akrab juga dengan Ica.
Jarang ku lihat Ica absen tertawa, tanda bahwa ia bahagia atau ceria. Aku jadi semakin yakin dengan apa yang Hardianti utarakan padaku, jika ia mengaku Ica selalu tertawa ketika bertemu denganya. Mungkin, ketika Ica memiliki masalahpun aku tak mengetahuinya karena memang Ica terlihat sebagai sosok gadis yang periang.
Gadis periang itu ternyata memiliki kebiasaan buruk, “ Ica tu pelupa, mudah marah (mudah terpancing emosi), jahil, tertawa ngakak dan satu lagi Ica suka numpuk pekerjaan”.
Ternyata begitupun Ica mudah tertawa, Ica juga ternyata orang yang sangat mudah menagis. ”Ya, memang saye cengeng. Bahkan waktu pak Segu (dosen Ica) bertanya, apa hal yang Ica sukai, Ica jawab menangis dan persahabatan. Waktu itu, pak Segu menjadi terheran-heran saat saye bilang begitu”, kata Ica.
Ica gadis yang sangat perasa. Perasaannya sangat lembut dan mudah tersentuh. Itulah sebabnya ia tak bisa menahan tangis jika ada hal yang membuat ia haru. Bahkan Ica tak kenal tempat jika hal yang disukainya itu datang.
Penampilan feminin yang terlihat dari keseharian Ica. Tapi Ica juga terlihat santai dengan penampilan. Jarang sekali terlihat Ica mengunakan baju-baju yang memiliki model yang unik atau aneh. Bahkan Ica sering berpenampilan simpel. Walaupun demikian Ica nampak feminin. Dia selalu mengunakan rok, sepatu kets dan tas berkuran sedang yang terpaut di samping badannya.
Ica yang mengaku menyukai warna biru itu, juga akrab dengan sesuatu yang berwarna cream. ”Ica menyukai warna-wana kalem”, katanya. Ternyata gadis pencinta kucing ini, punya cerita unik dalam hal prestasi.
Ica mengakui, ia tak punya prestasi yang cemerlang dalam bidang akademik. Tapi Ica punya prestasi sedikit di luar akademik. Ica saat duduk di bangku sekolah dasar di kampungnya Tebas, pernah mengikuti kegiatan pramuka (Jambore) tingkat kecamatan Tebas.
Saat ia duduk digangku SMP, setiap tahun pada caturwulan kedua, di sekolah Ica tersebut, selalu mengadakan acara Apresiasi Seni dan Budaya (ASB), dan ia tergabung dalam group kasidah. Dan grup ica tiap tahun selalu menjadi juara.
Saat ica SMA. Ia aktif berorganisasi. Organisasi yang ica ikuti seperti OSIS, Pramuka dan Saka Bhayangkara. Ica mengaku sangat mencintai ke tiga organisasi tersebut.
***
Bisa mengenal Ica merupakan hal yang memiliki keistimewaan tersendiri. Ica mengajariku untuk terus semangat belajar tanpa hirau dengan usia. Ica yang kini telah berusia 24 tahun dan baru tahun pertama berada di kampus, ternyata menurut pengakuanya kondisi itu bukanlah hal yang mudah bagi Ica pada awalnya.
Bisa berada di lingkungan kampus, menjalani rutinitas kuliah adalah hal yang tak pernah Ica bayangkan sebelumnya. Faktornya adalah, selain karena faktor ekonomi keluarganya yang kurang memungkinkan untuk mencapai hal tersebut. Faktor lainnya adalah karena ica merasa ia sudah lama sekali meninggalkan bangku sekolah, sehingga ia sedikit bimbang, apakah ia akan bisa mengikuti proses perkulihan nantinya.
Duduk di bangku kuliah merupakan cita-citanya sejak dulu, akan tetapi keinginan tersebut ia kubur dalam-dalam, karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk itu. Namun, sang abang, yang telah begitu lama menginginkannya untuk kuliah, terus menerus memberinya semangat agar tidak putus asa. Dan berkat sang abang inilah, ia bisa mencapai cita-citanya hari ini.
Ica juga mengakui jika orang yang begitu dekat denganya tak lain dan tak bukan adalah sang abang, Risan Syakirin yang Ica sapa dengan sapaan Along. Along adalah sebutan abang atau anak sulung dalam bahasa Melayu Sambas dan sekitarnya.
“Saya memang paling dekat dengan along. Along itu sosok abang yang bisa mengayomi dan along juga memiliki karakter yang lembut”, kata Ica meyakinkan.
“Bahkan dulu, saye pernah cemburu kalau along dekat dengan orang lain. Saye juga pernah marah waktu along punya pacar. Saye marah karena saye takut perhatian along terhadap saye akan berkurang jika ada orang lain yang dekat dengan dia selain saye. Saye belum bisa menerima kenyataan kalau suatu saat nanti, Along akan menikah, saye tak siap berbagi perhatian Along dengan kakak ipar saye. Baru sekaranglah saye bisa sedikit netral”. Ica berbagi cerita mengenai kedekatanya dengan abangnya (Along).
Ica juga mengaku jika pada awalnya ia sempat down pada awal-awal berada di kampus. Tapi Ica mengaku kalau hal itu tak berkepanjangan. Ica berhasil menepis hal-hal yang membuatnya minder dan kehilangan semangat. Tengang waktu 5 tahun sejak ia tamat SMA hingga kini ia kuliah, bukanlah waktu yang singkat. Saat ia ngangur (tidak kuliah) Ica bekerja di perusahaan plastik CV. Pandra di Arang Limbung.
Awal kuliah Ica sempat memiliki niat untuk pindah program studi, ternyata Ica mengincar pogram studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) karena memang cita-citanya adalah menjadi seorang penulis. Akan tetapi niat itu diurungkanya, karena ia juga menyukai konseling. Ia ingin menjadi penulis, plus konselor. Untuk itulah, akhirnya Ica memutuskan tetap berada di BPI, namun ia juga mengikuti mata kuliah yang berhubungan dengan menulis yang ada di KPI. Dan itu Ica lakukan jika ada waktu kosong dan tidak bentrok dengan mata kuliahnya di BPI.
Ica juga selalu ikut serta jika ada lomba penulisan di kampus. Ica juga aktif di organisasi kampus. Saat ini Ica sudah bergabung di Himpuan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Dakwah, ia pernah menjadi salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa Dakwah (KPUMD). Ica juga aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Matimsya, dan menjadi pimpinan redaksi Buletin Hijrah yang digarap oleh LDK Matimsya. Selain itu, ia juga aktif di Lembaga Perss Mahasiswa (LPM).
Ica terlihat sangat antusias terhadap LPM. Hal ini terbukti ketika aku mengajaknya ikut dalam kegiatan Musyawarah Besar (MUBES) ke IV LPM 3-4 Mei kemaren (saat itu ica belum menjadi anggota LPM). Ica begitu ku hubungi melalui via sms Ica langsung menyatakan kesanggupannya, walaupun ia mengajukan persyaratan jika ia hadir dalam acara tersebut.
”Saye bise si pegi, tapi saye hari ini ada syuro’ (rapat) buletin di LDK jam 13.00!”, Ica menyatakan kesediaan akan tetapi dengan sedikit keraguan.
”Tak ape-ape lah! Datang jak, katenye Ica pengen bergabung di LPM?”, aku langsung menyergahnya.
”O ye lah, tapi jam 13.00 saye boleh keluar ga?”, Ica mengajukan pertanyaan.
”Iya... bisa bah, nanti Ica pegi”, aku meyakinkan.
Akhirnya Ica datang juga. Saat Mubes dimuali, Ica terpilih menjadi presidium sidang tetap I, didampingi oleh Herianto sebagai ketua presidium sidang tetap II, dan Erika sekretaris sidang tetap. Ica menjalanka tugasnya dengan arif.
Saat berbicara mengenai organisasi kampus, Ica memang memiliki rencana tersendiri sejak awal berada di kampus. ”Waktu awal-awal di kampus, pas kegiatan orientasi pengenalan akademik (Opak) tu, kan ada dibagikan warta. Dari situlah saya tahu warta dan saya jadi pengen bergabung di LPM. Ada dua organisasi yang dari awal memang saya taksir. Yang pertama LDK Matimsya dan yang kedua LPM”.
Ica mengaku senang berorganisasi, namun ia berniat aktif di organisasi di awal-awal masa perkuliahanya. Karena menurutnya, makin lama di kampus bukanlah makin aktif di orgaisasi, tapi makin fokus ke kuliah. Maka dari itulah Ica memutuskan aktif di organisasi di awal-awal ia menjadi mahasiswa, dan setelah memasuki semester IV ke atas nanti, ia akan lebih fokus kuliah.
****
Gadis itu tampak sopan, ramah dan bersahaja dengan penampilannya sehari-hari. Tapi tak disangka dibalik semua itu, Ica ternyata memiliki hobi yang mungkin tak terpikirkan oleh orang-orang yang ada di dekatnya.
Selain ia suka membaca, Ica juga mengaku sangat suka dengan aktifitas memanjat pohon.
”Waktu kecil dulu, saye memang paling hobi manjat. Bahkan kalau saye lagi marah sama mamak saye atau sebaliknya mamak saye yang marah, satu hal yang selalu saye lakukan, manjat pohon. Pohonnya itu, lebih tinggi dari rumah saye dan ukuran batangnya sebesar lingkaran tangan orang dewasa. Di pohon itulah saye sembunyi dari mamak kalau lagi kenak marah”, kata Ica.
Ica bahkan mengaku tak mau menghentikan kegiatan yang satu itu, walaupun ia telah menjadi mahasiswa. Karena menurut Ica manjat pohon adalah salah satu kegiatan yang bisa menghilangkan stress.
”Sampai sekarang saye kalau lagi pusing, capek dengan aktifitas sehari-hari, saye ambil buku lalu manjat pohon sambil baca buku”, katanya.
Ica juga mengaku sangat bersyukur saat ia berdomisili di Arang Limbung, sebelum ia duduk di bangku kuliah. Di halaman rumahnya ada pohon jambu yang bisa jadikannya tempat menyalurkan hobi memanjat.
”Manjat tu Mbar perlu juga dilatih. Macam gak aktifitas yang lainnya. Jadi saye kalau pulang kampung, aktifitas yang pasti saye lakukan itu adalah manjat. Biar saye tetap bisa manjat pohon dan nggak kehilangan ’keterampilan’ yang satu itu”, seloroh Ica dengan nada ringannya, sambil tertawa.
Bukan hanya manjat pohon, kebiasaan yang Ica miliki. Bahkan Ica punya kebiasaan yang benar-benar membuat saya terdiam waktu mendengarnya. Ica mengaku saat ia duduk di bangku SMA tepatnya di daerah Tebas, Ica juga memiliki keterampilan memetik dawai gitar. Bahkan Ica juga memaparkan mengapa ia bisa akrab dengan alat musik yang satu itu.
Saat SMA Ica berdomisili di asrama yang letaknya tak begitu jauh dari sekolahnya. ”Di asrama itu, kalau udah malam kan ngumpul bareng teman-teman. Dah mulailah tu kami ambek gitar, begadang sampai malam”, Ica menuturkan pengalaman SMA nya.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai keterampilanya bermain gitar, Ica tersipu. ”Saye bukanya pandai main gitar, cuma tahu dikit-dikit jak. Saye hanya bisa memainkan beberapa lagu aja”, katanya.
Ica juga mengaku lagu kenangan bersama teman-teman SMA nya yang hingga saat ini masih lekat diingatanya dan bisa ia dendangkan dengan iringan gitar yang dipetiknya adalah lagu yang populer di tahun 70-an, yaitu lagu yang berjudul Kemesraan.
Kemesraan ini janganlah cepat berla....lu
Kemesraan ini ingin kukenang selalu...
Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu..
”Pokoknya lagu itulah yang masih saye ingat sampai sekarang, dan saye pun masih bisa main gitar kalau disuruh mainkan lagu itu”, Ica berkata sambil menerawang langit malam di teras rumah kami malam itu.
Kebiasaan Ica bergadang sepanjang malam, ternyata masih dilakoninya hingga ia duduk di bangku kuliah. Apalagi, saat ia kerja dulu, selama satu minggu dalam sebulan, ia harus kerja shif malam, begadang menjadi sebuah kebiasaan yang sulit untuk ia tiggalkan. Jadi saat ini, Ica mengaku lebih suka menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang menumpuk saat malam hari.
”Kadang-kadang karena terlalu sering tidur malam, kalau lagi nggak ada tugas, maunya si tidur awal. Tapi ternyata mata nggak mau diajak kompromi. Jadi ada tugas atau nggak, tetep begadang”, Ica menuturkan masalah yang dihadapinya setiap malam.
Ketika memiliki waktu luang di kampus, Ica mengaku tak punya tempat khusus. Tapi Ica mengaku jika memiliki waktu luang di kampus, Ica lebih suka ke perpustakaan, prodi atau ke sekretariat LPM atau LDK, atau ke kantin.
Prestasi dan kemampuan Ica di kampus memang patut diperhitungkan. Belum genap setahun Ica menjadi penduduk kampus, Ica telah mampu mendapatkan beasiswa kategori Karya Tulis Ilmiah pada tahun 2008.
****
Tak disangka Ica yang dalam keseharian mengenakan jilbab itu, baru mengenal hijab, mengenakan pakaian tertutup rapi pada tahun 2004. ”Saye dulu memang pakai jilbab. Tapi pakai jilbabnya ada saat-saatnya. Kalau di rumah nggak pakai jilbab dan jilbabnya pun asal nempel aja. Dulu waktu sekolah pakai jilbab tapi kalau udah nggak sekolah ngak pakai lagi. Saye baru mulai belajar pakai jilbab dan pakai pakaian tertutup sejak tahun 2004 lalu”.
Ica juga menuturkan pengalamnya, mengapa hingga ia memutuskan istiqomah dengan hijab yang dikenakanya, yaitu pakaian menutup aurat. Ditahun 2004 itu Ica bertemu seorang wanita yang usianya lebih dewasa darinya, dan dipangilnya dengan sapaan kakak. Sebut saja dia kak Jaleha..
Ica menuturkan jika dari kak Jaleha lah ia banyak belajar hal baru, baik yang berkenaan dengan agama ataupun praktek dalam keseharian. ”Karena sering syaring dan bertukar pendapat akhirnya Ica bertekad memperbaiki dirinya untuk menuju yang lebih baik dan momen perubahan pada diri Ica itu tepat di tanggal 1 Muharam tahun 2004.
”Ya paling nggak, Ica pengen insyaf. Dulu waktu SMA Ica bandel, suka ngumpul ama kawan-kawan dan lain sebagainya. Makanya sejak hari itu, Ica hentikan kegiatan gila Ica dan berbenah diri. Tapi satu yang tetap ada walau bagimanapun. Hobi manjat saye ngak akan saye tinggalkan”, katanya.
Semoga saja apa yang sudah ada dan yang sudah Ica capai saat ini bisa ia jadikan motifasi untuk lebih maju. Yang terpenting adalah Ica jangan pernah puas dengan apa yang sudah ada dan yang sudah didapatnya.
Comments :
0 komentar to “Sang Pencinta Kucing yang Hobi Manjat Pohon”
Posting Komentar