Oleh : Herian Jhon
Belum lama kumiliki ruangan ini, sebelum aku memilikinya banyak perjuangan keras yang harus dilakukan. Sewaktu SMP aku tidur di depan televisi peninggalan almarhumah kakek. Yang hanya ada warna hitam dan putih. Dengan berjuta semut yang menghiasi jika hujan disertai angin kencang. Batang pohon Belinggir yang lentur digunakan sebagai tempat antena. Hingga goyang kesana-kesini jika angin menghembusnya. Selembar selimut dan bantal lusuh kesayangan menemani tidur malamku. Selalu terpikir ingin memiliki ruangan pribadi yang menawan hati. Hingga masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, baru semua angan itu berusaha untuk mewujudkanya. “Jika ingin punya kamar harus buat pintu dahulu”. Masih dapat kuingat akan ucapan ayah, dengan nada santai tapi penuh tantangan. Setelah semua uang kuhitung, ditambah lagi menagih hutang dari teman yang telah lama jatuh temponya. Aku pergi ketukang mebel dekat rumah untuk memesan pintu kayu Bengkirai, tinggi 180 cm dan lebar 60 cm dengan biaya Rp 250.000 waktu itu. Seminggu kemudian pintu tersebut datang dan bersandar dekat ruang tengah. Yang kuharap ketika pulang sekolah adalah bertemu dengan ayah dan ia mennayakan “buat dimana, uang dari mana dan lain sebagainya” namun tak kudapatkan kata-kata itu.
Seminggu tidak ada tanggapan dari ayah, perihal keberadaan pintu tersebut. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membuat batako. Uang seminggu hasil menoreh karet cukup untuk membeli 2 sak karung semen. Kebetulan pasir sisa bangunan rumah paman lebih, jadi hanya dengan “paman minta pasirnya” ditambah kedip-kedip mata sedikit akhirnya diperbolehkan.
Hari itu ayah tak ada kerumah, kata ibu pergi undangan. Sambil membawa palu dan gergaji, mulailah aku beraksi untuk membuat tempat penyimpanan batako yang masih basah nantinya. “apa kata dunia seorang cucu tukang tidak bisa membuat hal semacam ini”, ujarku dalam hati. Kakek adalah tukang tertua dikampungku, puluhan rumah telah ia bangun dengan berbagai model pula. Banyak pula murid kakek yang telah sukses mengikuti jejaknya. Setengah jam tempat itu berhasil didirikan. Untungnya lagi, cetakan batako paman tidak lagi digunakan, setelah ia sukses mencetak 5600 batako yang kini ia bangun menjadi sebuah rumah. Hari pertama 25 buah batako berhasil kucetak dengan hadiah jari kelingking berdarah karena terjepit alat cetakan batako. Rasanya mustahil setengah hari bisa mendapatkan jumlah begitu banyak bagiku. Padahal ilmu membuat batako belum pernah aku dapatkan. Hanya melihat paman membuat waktu itu.
Hari kedua 52 buah, sebenarnya dapat 54 buah tapi berhubung ayam tetangga begitu irinya melihat kepandaianku membuat batako. Induk dan anaknya yang masih kecil bermain ditempat penyimpanan batako sementara. Hasilnya 2 buah batako pecah dan tidak sesuai pola lagi. Dengan 5 berbanding 1 atau 5 ember pasir ditambah dengan 1 ember semen akan menghasilkan batako yang kuat. Tetapi jika untuk bisnis campuranya berbeda biasanya 7-8 berbanding 1.
Belum genap seminggu batako yang kubuat sudah berjumlah 240 keping. Menghabiskan sekarung lebih sak semen. Semua telah siap, mulai dari pintu sampai batako, namun ayah tidak juga memanggil tukang untuk mengerjakan. Kakekku telah lama meninggal ketika aku masih SMP. Jika tidak ia pasti akan membuatkannya untuku. Yang kunanti akhirnya terjawab. Ayah memanggil tukang untuk mengerjakan yang aku mau. Satu truk datang di depan rumah. Namun ada yang membuatku binggung ayah juga banyak membeli paku, semen, kayu, dan juga keramik. Rupanya ayah ingin sekalian merehap rumahnya sembari membuat kamar untukku.
Semangat baru muncul dalam jiwa yang telah lama meredup. Hal yang didambakan sejak SD akan terwujud setengah atau sebulan kemudian. Tidak hanya menunggu hasilnya, semua kepandaian bertukang aku kerahkan demi rampungnya proyek ini. menggergaji, memaku, memahat, dan mengaduk semen itu hal mudah bagiku. Tetapi untuk memasang batako dengan baik aku harus banyak belajar. Pernah jari telunjuku merah padam karena salah pukul. Tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat. Kira-kira setengah bulan proyek sudah rampung. Hanya tinggal pengecatan dan pembersihan sisa-sisa bahan bangunan.
Tidak sabar rasanya menuggu cat kering dan dengan segera memasang pernak-pernik dalam ruangan kamarku. Hal pertama yang kulirik adalah poster mobil Volkswagen Z300, yang kudapatkan dari majalah otomotif 3 tahun lalu. Berdebu dan lusuh, setrika pun hilir mudik untuk membuatnya kembali menarik. Dengan bingkai dari triplek bekas kupasang poster perdana itu dalam kamar. Tepat di dinding depan pintu, ketika membuka pintu maka hal pertama yang kulihat adalah poster tersebut. Tempat tidur springbed pertama dan hasil keringat sendiri juga telah kupindahkan. Barang itu aku dapatkan ketika “nebeng” arisan dengan paman. Ketika ditarik uang arisan itu lebih dari setengah juta, hasilnya adalah springbed dengan kartun Mickey Mouse warna biru. Sedikit kalem memang pilihanku, tapi itulah aku. Bantal dan guling juga berwarna biru, juga sama dengan corak Micky Mouse. Padahal aku tidak mengenal dengan baik nama-nama tokoh tersebut. Hanya sekedar mengagumi. Tak hanya itu demi memuaskan hasrat, aku menggambar dinding kamar dengan Donald Duck dibawah jendela. Sebuah tulisan Alexandria, maklum waktu itu lagi booming album Peterpan tersebut. Belum puas dengan gambar-gambar, poster tim kesayangan sepak bola terpampang dekat ventilasi. Dua buah motor gede tepat didepan pembaringan empukku, maksudnya ketika akan tidur gambar tersebut akan terbawa sampai kealam mimpi. Namun sampai sekarang tak jua bermimpi mengunakan kendaraan tersebut, hanya bermimpi mengunakan sepeda onta mirip punya “Oemar Bakry”.
Mimpiku telah terwujud. Namun ruangan ini sangat privat bagiku, adikku saja tidak kuizinkan untuk masuk pada saat itu. Ketika hendak pergi selalu terkunci. Hingga suatu sore nenek mengintip aktivitasku dari jendela.
“Astaghfirullah, kamar apa macam ne...kaya orang gila” ujarnya heran.
Lalu nenek kuizinkan masuk, dengan aroma lemon nenek menghirup udara dalam kamar dalam-dalam. Hembusan angin dari kipas angin mini menambah segarnya ruangan itu. Ia duduk diatas tempat tidur sambil terheran-heran melihat warna-warni kamarku. Senyum manis dari sang nenek. Setelah kejadian itu kamarku tak lagi privat, adikku merasa senang berada dalam kamar itu. Bahkan ia memaksa untuk tukar tempat, memanja ingin tidur bersama dalam kamar ini, dengan alasan banyak nyamuk. Semuanya tidak kupenuhi, tak ingin membagi kepuasan batin ini dengan siapa pun, termasuk adik. Ibu dan ayah hanya diam saja melihat isi dalam kamarku. Puas rasanya bisa mewujudkan keinginan yang telah lama terpendam.
Comments :
0 komentar to “New RooM”
Posting Komentar